“Berapa umur gadis itu?” Nabi saaw bertanya.
“Ia telah ’aqil baligh, ya Rasul, rambut putih telah muncul di kepalanya.”
“Baiklah, aku putuskan perkara kalian. Thariq maupun engkau tidak ada yang benar. Kembalilah engkau, urus urusanmu sendiri dan biarkan gadis malang itu mengurus dirinya sendiri!”
Lelaki itu tercengang mendengar jawaban Nabi. Keputusan macam apa ini? Apakah seorang ayah tidak berkuasa penuh atas anak perempuannya? Jika misalnya ia bayarkan mahar kepada Thariq, dan Thariq menyerahkan anaknya kepadanya, apakah juga salah?
Melihat pria di hadapannya tercenung, Nabi saaw paham jalan pikirannya. Itulah jalan pikiran yang diwariskan oleh budaya jahiliyah, yang harus berubah dengan datangnya Islam. Beliau bersabda, “Yakinlah, jika engkau turuti apa yang telah kukatakan, engkau maupun Thariq tidak akan menjadi orang yang berdosa.”
Wanita Dinistakan, Salah Siapa?
Pada zaman pra Islam, dan dalam masyarakat Eropa kuno, wanita diperlakukan seperti halnya budak: sebagai benda milik; atau sedikit lebih tinggi dari “benda”, sebagai sub-human (setengah manusia). Dan kepadanya ditumpukan setiap kekesalan dan kesialan. Bahkan, keyakinan akan adanya dosa warisan juga diberangkatkan dari tudingan terhadap kesalahan Eva, yang merengek-rengek kepada Adam pasangannya untuk memetik “buah pengetahuan” yang disebut Iblis sebagai “buah keabadian”.
Rengekan Eva dipercaya sebagai hasil bisikan Iblis yang menjelma dalam bentuk ular. Karena menuruti Eva itulah, Adam mendapat murka Tuhan; harus terusir dari surga kenikmatan lalu merambah bumi yang masih perawan. Dosanya diturun-temurunkan kepada seluruh manusia, hingga kelak ada sosok manusia berkarakter ketuhanan yang berkenan menebusnya dengan darah dan jiwanya sendiri.
Penistaan terhadap wanita sedemikian mendunia, menjadi semacam pandangan global dalam istilah sekarang. Di Makkah, sebagai salah satu kosmopolit dunia saat itu, masyarakat pun menganut nilai serupa. Karunia Tuhan berupa anak perempuan disikapi dengan penuh kegusaran. Dalam al-Quran, reaksi spontan kaum bapak terhadap lahirnya anak perempuan digambarkan sebagai berikut, Dan jika seseorang di zaman itu diberi kabar kelahiran anak perempuan, jadilah hitam mukanya, dan dia sangat marah (QS an-Nahl(16):58). Anak perempuan adalah aib bagi keluarga, tanpa ada kesadaran bahwa bahkan lelaki paling mulia sekalipun, yang melahirkannya adalah seorang wanita! ‘Umar yang Agung pernah menangisi kebengisannya kepada anak perempuannya. Dikuburnya anak itu hidup-hidup karena beban malu yang tak tertanggungkan olehnya. Inilah yang disebutkan Allah dalam kalam-Nya, Dan tatkala bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya; atas dosa yang mana ia dibunuh (QS at-Takwir (81):8-9).
Diutusnya Nabi Muhammad saaw bersama ad-diinu l-haqq, Islam, yang dibawanya mengikis dominansi lelaki terhadap wanita. Sesiapa beramal bajik, pria maupun wanita, dan ia beriman, pasti berhak masuk surga. Tak sedikit pun direnggut hak mereka (QS an-Nisa (4):123). Wanita dan pria sama kedudukannya di hadapan Allah. Pembedanya adalah kualitas taqwa. Siapa lebih taqwa, ia lebih mulia.
Pandangan tentang tiadanya kehormatan pada wanita, celakanya, dihadirkan kembali ke dalam Islam. Tidak kurang, muhaddits besar al-Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan hadits Israiliyat yang meriwayatkan Nabi Suci saw bersabda wanita dibikin dari tulang rusuk lelaki. Berdasarkan hadits bathil ini muncul, bahkan menguat lagi pandangan bahwa hak, bahkan keperiadaan dan status wanita adalah bagian dari hak dan eksistensi pria. Artinya, wanita tidak serta-merta memiliki kehormatan, kecuali karena pria.
Pendirian bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk kiri pria sama sekali bukan bersumber dari ajaran Islam. Sumbernya Israiliyat; berasal dari ajaran Bani Israil atau kaum Yahudi, lalu disusupkan oleh Yahudi yang masuk Islam pada beberapa tahun pertama setelah Islam dida’wahkan. Dalam Torat, kitab yang banyak bagiannya mereka hafal, disebutkan, “Dan Tuhan Allah membuat Adam diserang kantuk yang hebat, dan ia tertidur; dan Dia mengambil satu dari tulang rusuknya, dan menambahkan daging untuk menutupnya. Dan tulang rusuk yang telah diambil Tuhan Allah dari lelaki, dibuat-Nya seorang wanita, dan dibawanya kepada si lelaki. Dan Adam berkata, inilah tulang dari tulangku, daging dari dagingku: ia diciptakan dari lelaki (Kejadian 2:21-23).
Khatimah
Wa maa dzakara ka l-untsaa, firman Allah dalam QS al-Lail(92):3, “tidaklah sama lelaki dan wanita.” Perbedaan di antara keduanya menyiratkan perintah terselubung untuk saling menghargai, saling bantu, dan saling melengkapi. [http://djarotmargiantoro.blogspot.com/2009/12/wanita-1.html]