Utang

Kedua kisah di atas mengingatkan kita pada kebiasaan masyarakat yang selama ini berlomba-lomba mencari utang lewat kartu kredit atau kredit konsumtif lainnya, juga utang perusahaan. Kisah di atas juga mengingatkan kita tentang masalah moneter dan ekonomi Negara Indonesia, khususnya masalah utang luar negeri. Paling tidak, hadits Nabi dari kitab Shahih Bukhori dan kisah sufi itu bisa dijadikan bahan renungan bagi yang berutang dan sedang memproses penyelesaian utang luar negeri.

Kita mendukung dan bersyukur, mereka telah berupaya mencari jalan keluar dari lilitan utang. Bukankah dalam hadits lain Nabi menegaskan, “Barang siapa yang berutang dengan maksud membayarnya, Tuhan akan menolongnya (dalam membayar kembali).”

Dalam hadits yang diceritakan Aisyah di atas, selain berdoa agar terhindar dari berutang, Rasulullah juga mengingatkan bahwa orang yang berutang cenderung bedusta dan ingkar janji. Peringatan ini menghentak kesadaran dan menggelitik ingatan kita tentang ciri-ciri orang munafik, seperti dijelaskan Rasulullah. “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga : kalau berbicara dia berdusta, bila berjanji tidak menepati, dan jika dipercaya dia khianat.” Artinya berutang seringkali bisa menyeret kita kepada kemunafikan. Na’udzubillah min dzalik ! untuk itu, yang perlu kita ingat bahwa utang sekescil apapun hukumnya wajib dibayar. Utang yang belum dilunasi menjadi beban tanggung jawab kita. “Jiwa seorang mukmin itu (yang meninggal dunia) tergantung pada utangnya, sehingga utang itu dilunasi,” kata Nabi. Jadi kita harus berusaha mengembalikan utang dan tetepa beriman kepada Allah. Wallahu ‘alam. (Idris Thaha). [Republika]

 

Comments

comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *