Saifullah menceritakan temuannya itu berawal saat ia melakukan riset tentang pemanfaatan tepung pisang (pisang cavendish dan barangan) di USM. “Saya menganalisa physicochemical dari buah pisang (pulp) dan kulit pisang (peel). Ternyata kandungan fiber (serat) dalam buah pisang sangat tinggi. Lalu, saya menganalisis juga kandungan glycemix index (GI) secara enzymatis dan ternyata GI yang dihasilkan relatif rendah,” paparnya.
Menurut Saifullah, setiap bahan makanan yang memiliki GI rendah, berpotensi memperlambat proses pelepasan glukosa (gula) dari karbohidrat ke dalam aliran darah manusia. Sehingga kadar gula dalam darah menjadi lebih rendah. “Nah, ini berarti sangat cocok untuk orang yang menderita gula darah tinggi dan juga bagi penderita obesitas,” papar dosen Teknik Kimia Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) itu, yang beberapa kali sempat muncul di televisi Malaysia.
Segera dipasarkan
Temuan mie jenis baru itu kontan saja menarik minat para pengusaha Malaysia untuk berinvestasi. Setidaknya hal tersebut mencuat kala konferensi pers antara tim peneliti USM yang dipimpin Prof Azhar Mat Easa dengan media cetak dan elektronik pada 28 Oktober pekan lalu di Fakultas Teknologi Industria (PPTI), Universiti Sains Malaysia.
“Saat ini kami sedang dalam proses akhir perbincangan dengan beberapa pihak tertentu untuk tujuan produksi masal. Tak hanya dalam bentuk mie, neodles juga bisa diproduksi dalam bentuk tepung mentah untuk tujuan ekspor. Produk yang murni menggunakan kandungan lokal ini diperkirakan Februari tahun depan akan berada di pasaran dalam kemasan 200 gram dan dijual dengan harga 2-2,5 Ringgit (sekitar Rp 7.000,” ungkap Azhar kepada pers, seperti dikutip dari kantor berita Malaysia Bernama.
Azhar yang didampingi anggota tim risetnya yakni Saifullah Ramli, Yeoh Shin Yong dan Dr Abbad FM Alkarkhi, juga menyebut bahwa untuk penelitian tersebut dia mendapat kucuran dana riset dari Kementerian Sains Teknologi dan Inovasi (MOSTI) Malaysia sebesar RM 900.000 (sekitar Rp 2,5 milyar). Halnya dengan Saifullah, dia mulai meneliti di USM sejak Januari 2008 dan kini telah menghasilkan 7 buah publikasi di jurnal international.
“Saya kira ini akan membuka peluang usaha baru yakni industri tepung pisang. Selama ini yang kita kenal kan tepung gandum atau tepung beras. Para petani pisang patut kita berdayakan. Jika perlu kita satukan mereka dalam satu wadah sejenis koperasi atau apapun namanya. Kita bina agar bersemangat dan mau memanfaatkan lahan-lahan kosong untuk menanam pokok pisang. Hasilnya kita beli dan kita jadikan tepung pisang. Jika perlu kita cari jalur untuk ekspor,” papar Saiful bersemangat. “Buah pisang kalau dijadikan tepung pisang maka lebih awet dan tahan lama. Tepung pisang dapat dijadikan sebagai untuk bahan baku membuat roti, kue dan segala macam olahan makanan lainnya,” tutur ayah empat anak itu lagi.
Bubuk santan instan
Saifullah memang identik dengan ide-ide kreatif. Misalnya saja, pria bersahaja ini tahun 1996 silam pernah menerima penghargaan sebagai pemakalah terbaik untuk risetnya mengenai “Pembuatan Bubuk Santan Instan” dalam sebuah seminar yang disuport HEDS-JICA di Padang. “Waktu itu, di Indonesia belum ada produk santan instan di pasaran. Saya pernah mengurus hak patennya. Tapi akhirnya tidak berhasil, karena rumitnya birokrasi dan juga tak ada dukungan yang memadai,” keluh Saifullah, yang mengaku waktu itu tidak mendapatkan dukungan baik dari institusi ataupun pemda setempat.
“Beberapa tahun kemudian, produk santan instan ini mulai muncul di pasaran. Ceritanya, setelah artikel saya dipublikasi oleh ITB Bandung, banyak surat datang ke saya dan meminta informasi pembuatan santan instan tersebut. Kebanyakan adalah dari pengusaha di Jakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan,” papar suami Cut Suzanna itu mengenang.
Koleganya di Unsyiah tentu saja menyambut antusias temuan mie neodles Saifullah itu. “Keberhasilan Pak Saifullah menghasilkan penelitian yang dapat dipatenkan dan dikomersialkan dalam skala industri patut kita sambut gembira. Hal ini tentu saja akan memberikan dorongan rekan-rekan lain untuk dapat mencapai hal yang sama. Dan, tentu saja dukungan dana riset dari dalam negeri harus memadai. Saya yakin hasil-hasil riset peneliti kita banyak yang bisa dijadikan produk komersil,” ujar Dr Saiful Sulun, salah seorang dosen dan peneliti di FMIPA Unsyiah.
Tampaknya institusi akademik di Aceh perlu bersinergi dengan dinas atau instansi terkait untuk mendukung upaya seperti disitir Saiful. Dan, dukungan pemerintah daerah juga tak bisa dipandang remeh sehingga hasil riset aneuk nanggroe bisa memberi kesejahteraan bagi rakyat banyak. Bukan justru dinikmati oleh negeri tetangga. Begitulah. [zulkarnain jalil_serambi news]