Sumirat Musim Dingin

“Okeh… I will give you the pink one…” Zoe mencibir ketika warna yang paling dibencinya kusebutkan dan menyerbuku dengan sederetan kalimat yang intinya… ngasih mbok ya yang niat.

“Sha-sha… apa kita mau diskusi di sini saja?” Arthur teman satu kelompokku tiba-tiba muncul di depan kantor Zoe. Ketika ku memanjangkan leher dan melemparkan penglihatan ke arah datangnya suara, dibalik tubuh tinggi Arthur yang mencapai angka 180 cm tampak Paul, Kris dan Zhangwen, teman sekelompokku yang lain. Siang ini kami memang ada rencana untuk belajar kelompok bersama.

“Di perpus saja bagaimana?” tawarku. Tentunya perpus yang ku maksud adalah perpustakaan jurusan, karena adalah hal yang mustahil untuk berberisik ria di ruangan perpustakaan utama/universitas. Namun di perpus jurusan, sudah sangat umum sekali terjadi keributan di sana. Ha… teman-teman satu jurusan dengan ku memang tipe nya berbeda dengan orang-orang Taiwan pada umumnya. Teman-teman ku rata-rata orang yang sangat suka berbicara, berdiskusi bahkan berdebat. Sehingga jika di perpus jurusan kami membuat keributan tidak akan ada muka-muka masam melirik dan dengan kesal berkata “sssssssssssstttttttttttt….”.

“Oke.” jawab Arthur, dan berbalik arah menuju perpus jurusan. Kuserahkan draft terjemahan Zoe dan pamit ke perpustakaan jurusan, yang posisinya pas banget disebelah kantor Zoe.

“Jangan lupa… besok bawakan jilbab!” Zoe mengingatkan sebelum aku sepenuhnya keluar dari kantor.

“Iya..iya.. yang pink…” balas ku cepat dan sekilas melihat kea rah Zoe yang mendengus kesal.

***

 

Perpustakaan jurusan sangat sepi siang itu, mungkin efek musim dingin yang membuat para siswa malas beranjak dari peraduannya selain ada hal-hal yang mendesak dan terpaksa. Di pojok ruangan ada Jo dan Hans, professor muda di kampus kami. Mereka tampaknya sedang berdiskusi hangat tentang kasus pemecatan seorang dokter di sebuah rumah sakit ternama karena keputusannya untuk menjadi seorang transgender. Aku dan kelompokku memutuskan memilih tempat di tengah ruangan, melingkar di salah satu meja yang tersedia di sana. Wajah-wajah lelah terpancar dari semua yang hadir, mungkin karena mereka baru selesai dari sebuah kelas. Bahkan mungkin otaknya masih pada keriting, namun mau tidak mau kami harus berkumpul, menyelesaikan beberapa pertanyaan yang dibebankan ke kelompok kami. Kelas yang kami ambil ini memang cukup berat, setiap minggu ada dua artikel yang harus dituntaskan. Dari artikel tersebut kami harus membuat respon dengan membuat perbandingan serta menyampaikan pandangan pribadi terhadap artikel itu, sehingga mau tidak mau dipaksa untuk membaca bahan tambahan. Agar respon yang disampaikan tidak sekedar asumsi dan kira-kira semata. Ditambah pula dengan penugasan kelompok, yang sebenarnya tidak begitu susah. Karena ibu professor telah mensarikan kata-kata kunci atau terminologi untuk kami carikan definisinya dari teks yang kami baca. Permasalahannya adalah interpretasi manusia yang berbeda-beda, jadilah diskusi kelompok memakan waktu berjam-jam untuk mencapai sebuah kesepakatan.

Siang itu kelompok kami kebagian mendefinisikan beberapa istilah racikan Freud, seorang neurologis yang suskses membuat bingung dan pusing dengan psikoanalisisnya. Karena mentok sana-sini dan tidak mendapat pencerahan apa-apa teman-teman dikelompok malah sibuk membahas Chiang Khai Sek dan Mao Ze Dong, “ada affair apa diantara mereka?”

Are they gay?” Paul yang asal Kanada mencoba membuat joke, dan Zhangwen yang asli dari maindland China memasang muka tidak suka dengan joke tersebut. Aku berusaha netral saja, lebih tepatnya tidak terlibat dengan percakapan tersebut. Pura-pura sibuk membalik-balik buku, mencoba memecahkan misteri “bagaimana kita bisa menganalisa sebuah mimpi? Toh orang yang mengalami mimpi bukannya pas sudah bangun lupa dengan mimpi yang dialaminya? Lalu bagaimana mimpi bisa berkaitan dengan kesehatan mental seseorang?” Pfuuf… mentok..mentok…

“Bagaimana kalau kita makan siang saja?” Ide dari Arthur disambut baik oleh teman-teman yang lain, kecuali aku! Yah… ajakan makan adalah ajakan paling mengerikan! Karena mencari makan paling aman di Taiwan, apalagi makanan halal susahnya minta ampun. Teman-teman mengerti kalau aku tidak makan babi dan turunannya bahkan telah memproklamirkan diri sebagai seorang vegetarian. Jadi setiap ada acara makan bareng pasti dipilihkan restoran yang juga menyediakan makanan vegetariannya. Tapi masalahnya…. Makanan halal tidak sesederhana itu. Bukan sekedar tidak memasukkan babi kedalamnya namun juga harus memperhatikan proses pemotongan dan pengolahannya. Walau yang dipilih adalah masakan vegetarian, namun jika di restoran tersebut menjual menu babi, kehalalan aneka sayuran tersebut diragukan.

“Oke.. bagaimana kalau kita makan di restoran belakang kampus? Mereka menyediakan menu seafood dan vegetarian.” Usul Arthur kemudian.

“Jangan khawatir…. Mereka hanya menjual seafood dan masakan vegetarian.” Bisik Arthur ketika satu persatu anggota kelompok melesat keluar menuju restoran yang dimaksud.

“He…” dengan sedikit kaget ku tanggapi pernyataan Arthur.

“Iya.. aku ngerti… kalau makanan halal itu harus disembelih atas nama Tuhan kalian kan? Lalu media yang terkena babi tidak bisa langsung digunakan tanpa harus melalui proses penyucian yang disyaratkan. Iya kan?”

How do you know?” belum sempat kulemparkan pertanyaan itu, Arthur telah terlebih dahulu menjelaskan panjang lebar. Berawal dari iklan di TV yang dia lihat tentang pemberitahuan bahwasanya seorang muslim tidak makan babi, dia tertarik untuk mencari lebih jauh lagi, kenapa? Seiring dengan pencarian akan rasa penasarannya itu, secara tidak langsung dia mendapat pemahaman yang lebih dalam dan komprehensif akan apa itu makanan halal.

“Harusnya kamu tidak usah malu untuk menjelaskan ke kami. Kami bisa mengerti kok.” Lanjut Arthur yang benar-benar menohok. Rasa malu itu semakin berlipat-lipat ketika teringat bagaimana aku mencoba menguatkan teman-teman pekerja untuk berani menyampaikan kepada majikan mereka bahwa seorang muslim harus makan makanan halal, tapi diriku sendiri tidak punya keberanian itu. Aku justru berlindung di balik makanan vegetarian dan membiarkan teman-teman salah paham bahwa seorang muslim itu tidak makan babi, hanya itu. Definisi yang sangat sempit sekali. Padahal seharusnya aku memberikan pencerahan… memberikan pemahaman yang lebih… Sehingga saling mengerti diantara kami bisa terjalin lebih dalam lagi. Aku tidak perlu lagi mengasingkan diri setiap ada ajakan makanan atau terjebak dengan rasa penuh dosa setiap kali menyantap makanan –walau vegetaraian sekalipun– yang disajikan karena tidak bisa menolak sebuah ajakan makan bersama.

***

Restoran yang dipilihkan Arthur benar-benar istimewa. Secara ukuran, restoran tersebut bisa dikategorikan mungil. Hanya ada beberapa meja bundar di lantai satu. Di lantai dua pemandangannya jauh lebih indah dan penataannya juga lebih lega. Namun kami memlih di lantai satu saja, karena udara dingin yang tidak bersahabat membuat keindahan pemandangan dari lantai dua terkalahkan. Di lantai satu juga terasa lebih hangat, karena dipojok ruangan sebelum dapur terdapat sebuah perapian. Konsep perpaduan gaya Eropa dan Asia tampak nyata di dekorasi ruangan yang didominasi warna hijau tersebut. Di setiap meja menggelantung lampu unik berbentuk semi-bola-heksagonal yang berbeda warna setiap mejanya. Kami memutuskan menghangatkan diri disebuah meja dengan lampu warna orange di atasnya.

See… only seafood and vegetarian!” Arthur mengambilkan daftar menu berbahasa Ingris. Satu persatu ku teliti menu yang ditawarkan, benar… tidak ada kata pork, lard, bacon dan saudara-saudaranya tertera di sana. Seorang pelayan menghampiri meja kami dan mencatat dengan seksama menu yang kami pesan.

“Pakai bawang merah tidak? Telur? Dan dairy product lainnya?” Tanya sang pelayan cantik ke Kris, yang benar-benar seorang vegetarian sejati, bukan vegetarian gadungan seperti ku. Karena ada beberapa klasifikasi vegetarian di sini. Ada yang tidak boleh mengkonsumsi bawang merah juga ada yang tidak mengkonsumsi dairy product seperti susu dan juga tidak memakan telur. Dan ternyata Kris termasuk vegetarian yang tidak mengkonsumsi telur, tapi tetap meminum susu. Nah loh?

“Orang Taiwan itu selalu bilang diri mereka demokratis… selalu bilang kalau mereka open minded. Tapi aslinya mereka diskriminatif.” Celetuk Arthur sesaat setelah si pelayan pergi. Aku, Paul, Kris dan Zhangwen yang tadinya sibuk berdiskusi tentang posisi orang Jepang di mata orang Taiwan dan maindland Cina sontak terdiam dan mengalihkan pandangan ke Arthur. Hm… Arthur dengan komentar-komentarnya yang kontradiktif  selalu sukses menjadikan dia sebagai pusat perhatian.

“Lihat saja tadi… sewaktu Kris memesan makanan vegetarian, pertanyaannya komplit untuk memberikan servis terbaik bagi pelanggan mereka yang vegetarian.” Semua masih terdiam, dan belum bisa menangkap arah pembicaraan Arthur.

“Coba kalau orang Islam minta makanan halal mereka mesti menjawabnya hen mafan… “ aku masih belum mengerti maksud Arthur, teman-teman yang lain pun begitu. Karena tidak ada diantara kami yang berkomentar atau mengalihkan topik pembicaraan.

“Jadi begini…. Dengan adanya makanan vegetarian di Taiwan dan merebak dimana-mana, orang Taiwan harusnya sudah paham dan mengerti bahwa dengan latar belakang agama ataupun budaya tertentu, orang-orang memiliki kebutuhan khusus atas makanan. Ya seperti orang budha mayoritas diantara mereka adalah vegetarian. Walau sekarang juga banyak orang menjadi vegetarian sebagai gaya hidup saja, tetap sajakan asal muasalnya karena kebutuhan khusus penganut agama Budha. Lalu ketika muncul orang Islam mewarnai kehidupan sosial di Taiwan mengapa mereka merasa aneh dengan pola diet mereka yang tidak memasukkan babi dan turunannya dalam menu kesehariannya? Bahkan bagi sebagain orang Taiwan itu merepotkan? Jika makanan halal merepotkan, ya makanan vegetarian juga merepotkan donk? Apalagi ada syarat khusus yang tidak menggunakan bawang merah atau dairy product. Lalu mengapa mereka dianggap tidak merepotkan? Apa karena itu sudah bagian dari masyarakat Taiwan? Sesuatu yang mendominasi. Sedangkan makanan halal merupakan kebutuhan minoritas, lalu namanya apa kalau bukan diskriminatif?” Semua masih terdiam, tidak ada yang berani menanggapi, bahkan aku sekali pun. Kata-kata itu seharunys keluar dari mulut ku, seorang muslim yang seharusnya juga berhak dan memperjuangkan hak tersebut untuk mendapatkan makanan yang layak dan sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Lagi-lagi rasa malu itu muncul dalam diri ini, dan kekagumanku terhadap Arthur naik berlipat-lipat. Andai saja komunitas muslim yang ada di Taiwan punya keberanian seperti Arthur dan kekritisan yang tidak jauh berbeda bisa jadi makanan halal diseluruh pelosok Taiwan bukan hal mustahil. Selama ini hanya bisa menyerah dengan keadaan yang ada tanpa melakukan apa-apa. Pun komunitas yang ada justru terpecah belah karena isu-isu politik murahan, disaat seharusnya bersatu padu.

Senja beranjak pergi, kabut semakin menebal diantara bumi yang semakin gelap. Mentari yang sedarii pagi enggan memberi kehangatan serasa berpindah ke lubuk hati, memberikan kehangatan dan mengobarkan semangat perjuangan. Arthur… terima kasih untuk pelajaran hari ini!

Note:

Dui a = benar

Hen mafan = menyusahkan

 

 

Comments

comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *