Bahan pengawet termasuk ke dalam BTP [Bahan Tambahan Pangan] yaitu bahan yang sengaja ditambahkan ke dalam makanan dan terlibat dalam proses pengolahan, pengemasan dan atau penyimpanan dan bukan merupakan bahan utama.
Zat kimia yang digunakan sebagai bahan tambahan pangan pengawet, sebagian besar memang dulunya diekstrak dari bahan-bahan yang ada di alam. Misalnya, asam benzoat yang alami ditemukan pada tanaman kelompok berry. Gula dan garam juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Contohnya dalam pembuatan ikan pindang, telur asin, dendeng, manisan, dan sebagainya. Cuka juga bisa disebut sebagai pengawet, sebagai contoh acar timun, acar bawang, dan sebagainya. Tetapi, untuk penggunaan secara massal, tidak mungkin diekstrak dari buah karena dalam buah ekstraknya sedikit sekali. Jadi, zat pengawet yang sekarang digunakan dalam industri pangan adalah hasil sintetis kimia.
Dalam hal ini, bahan pengawet bisa aman dan bisa pula berbahaya, tergantung jenis bahan pengawet yang digunakan, kondisi dan tujuan penggunaan, ketepatan dosis, serta siapa dan bagaimana konsumennya. Jangankan bahan sintetis kimia, bahan yang alami pun kalau penggunaannya berlebihan dan tidak pada tempatnya, juga bisa berbahaya. Terlalu banyak mengkonsumsi gula atau garam juga berbahaya bukan?
Bahan makanan BELUM TENTU LEBIH AMAN tanpa bahan pengawet. Susu, ikan, minyak, daging termasuk bahan makanan yang justru akan berbahaya bagi tubuh jika mengalami kerusakan akibat proses metabolisme di dalam bahan itu sendiri atau akibat kontaminasi mikrobia. Kontaminasi oleh bakteri-bakteri seperti Salmonella, Shigella, E.coli, dan Staphylococcus aureus akan mengakibatkan sakit perut, mual, muntah, dan diare berat, sampai perdarahan. Racun yang dihasilkan Clostridium botulinum dapat menyebabkan gangguan sistem saraf serta kesulitan bernapas yang berakibat fatal. Kontaminasi jamur Aspergillus flavus yang tumbuh pada jagung atau kedelai dapat menghasilkan racun aflatoksin yang bisa menyebabkan kanker hati. Di sini peran penting bahan pengawet untuk mencegah kerusakan bahan makanan yang justru bisa lebih membahayakan manusia.
Produk makanan kemasan yang diekspor membutuhkan waktu lama untuk distribusi dan penyimpanan. Ada juga produk yang setelah dibuka sisanya masih disimpan, misalnya selai, kecap, dsb. Bisa dikatakan tidak mungkin tidak ditambahi pengawet.
Menanggapi kabar bahwa produk mi tersebut bukan untuk pasar Taiwan, ternyata memang masing-masing negara menerapkan standar berbeda untuk jenis maupun dosis pengawet makanan yang ditambahkan dalam makanan impor. Dalam website resmi departemen kesehatan Taiwan [http://food.doh.gov.tw], disebutkan bahwa butylparaben diizinkan untuk ditambahkan ke dalam kecap dalam batas maksimal 0,25 gram per kg produk. Di negara lain, misalnya Amerika Serikat, Kanada dan Singapura, kadar maksimum pengawet ini 0,1 gram per kg. Sedangkan di Hongkong 0,55 gram per kg. Menurut codex alimentarius yang digunakan sebagai standar internasional penggunaan BTP, paraben dikategorikan sebagai GRAS [Generally Recognize as Save] alias aman dikonsumsi dalam batas tertentu sehingga diijinkan untuk ditambahkan ke dalam kecap.
Meski produk ini dianggap bermasalah di Taiwan, namun pihak pengawas kesehatan di Singapura menyatakan bahwa produk yang diekspor ke sana tidak mengandung pengawet yang dilarang. Ini membuktikan adanya perbedaan kondisi produk yang diekspor ke berbagai negara.
Lalu apa yang menentukan perbedaan dosis pengawet di berbagai negara? Tentu saja berdasarkan kajian yang dilakukan badan pengawas makanan di masing-masing negara tersebut.
Di Indonesia, penentuan didasarkan pada peraturan Menteri Kesehatan republik Indonesia bahwa setiap BTP termasuk pengawet, harus melalui analisis risiko yang terdiri atas tiga tahap, yaitu pengkajian, pengelolaan, dan komunikasi risiko. Setelah melalui semua tahap tersebut, barulah bahan pengawet yang diizinkan penggunaannya oleh BPOM dikategorikan aman. Tentu saja asalkan dikonsumsi sesuai ketentuan asupan harian yang diizinkan (acceptable daily intake = ADI), yaitu jumlah bahan tambahan pangan per kilogram berat badan, yang jika dikonsumsi setiap hari seumur hidup tidak akan memberikan risiko bagi kesehatan.
Bagaimana dengan di Taiwan? Dalam website departemen kesehatan Taiwan disebutkan bahwa setiap distributor produk impor yang menggunakan bahan pengawet wajib mendaftarkan dan lolos dalam beberapa kriteria yaitu lolos tes pada hewan uji, bahan pengawet tersebut sudah diterima secara internasional, laporan evaluasi bahwa bahan pengawet tersebut memang benar-benar dibutuhkan dalam proses produksi, deskripsi metode analisis yang digunakan untuk pengujian bahan pengawet, dan deskripsi spesifikasi produk. Analisis ini dilakukan dalam EMPAT HINGGA ENAM BULAN.
Jika selama bertahun-tahun produk ini lolos sensor, mengapa sekarang tiba-tiba dilarang beredar di Taiwan? Apakah penambahan itu baru dilakukan oleh Indofood akhir-akhir ini saja ataukah memang terjadi kesalahan penyaluran sehingga produk yang beredar SEKITAR EMPAT-ENAM BULAN LALU memang tidak diperuntukkan bagi pasar Taiwan? Ada dugaan bahwa produk yang disalurkan ke Taiwan bukan produk yang dosisnya diijinkan untuk digunakan di Taiwan.
Menurut ketentuan resmi, kadar maksimal bahan pengawet harus jauh di bawah maksimum ADI. Jadi, dosis pengawet yang masuk ke tubuh tidak akan melewati batas maksimum ADI, meski Anda mengonsumsi produk berpengawet beberapa kali sehari, asalkan masih dalam batas normal atau tidak berlebihan. Selain itu, Anda tak perlu khawatir terjadi akumulasi bahan pengawet dalam tubuh, karena garam-garam pengawet yang lazim digunakan di Indonesia, 95%-nya akan terbuang lewat urin. Penyaringannya menggunakan liver/hati dan ginjal.
Benar bahwa bahan tersebut memang bukan untuk pengawet mi, dan memang TIDAK ditambahkan ke dalam mi. Mi tersebut sudah awet karena melewati PROSES PENGERINGAN dalam pembuatannya. Produk yang kering memiliki aktivitas air yang lebih rendah sehingga lebih sulit untuk dibusukkan oleh mikrobia. Dengan demikian pengawet memang tidak perlu ditambahkan ke dalam mi.
Paraben memang juga digunakan untuk pengawet kosmetik. Namun apakah jika suatu produk ditambahkan ke dalam kosmetik otomatis tidak aman untuk dikonsumsi secara oral? Belum tentu. Jadi yang harus dijadikan pegangan adalah APAKAH BAHAN TERSEBUT AMAN DIKONSUMSI/DIMAKAN dan berapa batas maksimal penggunaannya.
by: Wahidah Mahanani Rahayu (Mahasiswi Master, National Chiayi University, Dept. of Food Science)
Sumber:
1. www.chinapost.com.tw/taiwan/national/national-news/2010/10/13/275996/Harmful-preservatives.htm
2. http://www.codexalimentarius.net/
3. http://food.doh.gov.tw/foodnew/
4. http://gain.fas.usda.gov/
5. http://pelangiku.com/2009/02/jangan-benci-bahan-pengawet/
6. http://www.pom.go.id/ioe/dokumen/infopom1203.pdf
7. http://www.tribunnews.com/2010/10/11/antara-presiden-sby-dan-bisnis-indomie/
8. http://www.usfoodtaiwan.org/