Taipei, FORMMIT Utaratu – Kajian Gabungan FORMMIT Utaratu bersama Ust. Syatori Abdul Rauf, Mushola NTUST, Senin, 14 Januari 2013
Tema : Syakhshiyatur Rahman
Syakhshiyatur rahman adalah keniscayaan; karena tidak ada di hidup ini yang bukan merupakan nikmat Allah. Memahami bahwa tidak ada satu kejadianpun dalam hidup yang tidak bermakna kasih sayang Allah. Termasuk musibah yang juga merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada hambaNya walaupun untuk memahami bentuk kasih sayang Allah dalam bentuk musibah ini membutuhkan perjuangan keras dan tentu saja tidaklah mudah. Perjuangan inilah yang nantinya akan di catat sebagai amal ibadah.
Dalam surat Ar Rahman, terdapat 31 pertanyaan Allah kepada manusia yang selalu diulang dan diulang. Pengulangan-pengulangan tersebut merupakan bentuk kasih saying Allah kepada umat manusia agar manusia selalu ingat Allah dan tidak menjadi golongan yang mendustakan Allah.
Memahami kasih sayang Allah berarti juga memahami rahasia takdir Allah. Berbicara mengenai takdir. Takdir sangat bermacam-macam dan berbeda-beda untuk setiap individu. Seperti apapun suratan takdir baik takdir baik ataupun takdir buruk merupakan bentuk kasih sayang Allah yang hanya menginginkan kebaikan untuk kita.
Kaidah takdir dibagi menjadi dua macam yaitu,
1. Takdir baik yang belum tentu menjadi kebaikan
2. Takdir buruk yang belum tentu menjadi keburukan
Allah memberikan takdir baik dan takdir buruk untuk menuju kebaikan. Hal yang penting terhadap kedua kaidah takdir tersebut adalah bagaimana kita menyikapinya. Jenis takdir dibagi menjadi dua macam yaitu,
1. Takdir dunia yaitu takdir yang dirasakan di dunia seperti kaya-miskin, sehat-sakit, tua-muda, dsb.
2. Takdir ukhrawi yaitu takdir yang juga akan dirasakan di akhirat misalnya ada orang yang jujur, ada yang menipu, ada yang rajin sholat, ada yang belum rajin sholat, ada yang sedekah banyak, ada yang sedekah sedikit, ada yang belum sedekah sama sekali, dsb.
Kedua jenis takdir ini untuk kebaikan manusia di akhirat.
Takdir baik dan takdir buruk dibagi menjadi 2 macam yaitu takdir yang sudah terjadi dan takdir yang belum terjadi. Sikap terbaik kita terhadap takdir baik dan takdir buruk adalah sebagai berikut :
1. Menerima takdir
Menerima merupakan sikap dasar kita agar dapat tumbuh kebaikan-kebaikan dalam takdir baik yang sudah maupun yang belum terjadi. Sikap menerima harus diartika sebagai hal aktif, bukan pasif. Dalam sikap menerima takdir, dibagi menjadi empat macam antara lain :
a. Al Kasbu (kebaikan yang terdapat dalam takdir baik yang belum terjadi)
Pada bagian ini, kita harus berusaha agar takdir baik tersebut selalu mengisi seluruh relung hidup kita misalnya kita selalu berusaha untuk istiqomah setiap hari dalam kebaikan serta terus meningkatkan ibadah, ilmu, prestasi dsb. Nilai kebaikan ini nanti akan terdapat dalam usaha-usaha yang dilakukan untuk menyambut takdir baik yang belum terjadi. Hal tersebut dijelaskan dalam Q.S Al Qashash :77.
b. As Syukru (kebaikan yang terdapat dalam takdir baik yang sudah terjadi)
Menjadikan takdir baik yang sudah terjadi untuk membuat kualitas diri kita menjadi lebih baik daripada sebelum mengalami takdir baik ini. Bisa kita buka kembali Q.S Ibrahim :7.
c. Al Janbu (kebaikan yang terdapat dalam takdir buruk yang belum terjadi)
Hal tersebut dapat kita lakukan dengan menjauhi semua hal yang mengarah ke takdir buruk.
d. Al Inabah (kebaikan yang terdapat dalam takdir buruk yang sudah terjadi).
Kembali kepada Allah yaitu dengan menjadikan setiap takdir buruk untuk selalu mengingat Allah dan kembali ke Allah.
Keempat hal ini selalu berhubungan dan akan mengalir dari satu hal ke hal yang lain sesuai dengan takdir-takdir yang kita alami. Hal ini dapat digambarkan dengan sebuah rotasi dari Al Kasbu berganti ke As Syukru berganti ke Al Janbu berganti ke Al Inabah lalu kembali lagi ke Al Kasbu dan terus berputar sehingga kita akan mendapatkan kebaikan.
2. Memahami bahwa takdir Allah adalah kesempatan menuju kebaikan
3. Memandang takdir hidup sebagai “rizki” kebaikan dari Allah SWT.
4. Menyambut takdir apapun dengan hati penuh bunga (bahagia)
5. Tidak menjadikan takdir buruk sebagai alas an untuk tidak berbuat baik apalagi untuk melakukan hal-hal buruk
——–Sebuah cerita motivasi sekaligus menginspirasi bagi kita semua (melalui sedikit gubahan)——-
“Ma, Asa boleh sembuh kan?” pinta Asa ke Mamanya.
“Boleh anakku sayang, tentu saja boleh” jawab Mama sambil tersenyum.
“Asa ingin sembuh karena Asa pengen bisa hafal Al Qur’an, Ma,” suara Asa lirih.
Sebuah jawaban dari seorang anak kecil yang tentu saja akan membuat setiap mama di dunia meneteskan air matanya.
Tak berselang lama, Asa mendengar suara rintihan anak kecil yang kesakitan di sebelah tempat tidurnya.
“Itu suara siapa, Ma?” tanya Asa sambill berusaha melirik ke samping.
“Itu suara Ainun Nak, dia juga sakit sekarang jadi harus di rawat di sini juga, Nak” jawab Mama
Asa masih berusaha sebisanya untuk melirik Ainun yang sedang merintih kesakitan.
“Asa punya permintaan, Ma”
“Permintaan apa Nak?”
“Boleh nggak Ma Asa mendoakan Ainun biar Ainun cepat sembuh dan tak merintih kesakitan lagi Ma, Asa kasian ke Ainun Ma” pinta Asa.
Mama hanya bisa mengangguk sambil memandangi putrinya dengan perasaan bangga sekaligus haru.
Saat itu pula, papa dan mama Asa menunggui dengan sedih di samping tempat tidur Asa.
Asa pun tak tega melihat papa mamanya sedih.
” Pa, Ma, Papa Mama jangan sedih lagi ya. Sakit ini, bagi Asa tetap saja nikmat dari Allah”
Papa dan Mama Asa memandangi Asa dengan tegar yang diiringi tetesan air mata bangga, bahagia, dan bersyukur mempunyai putri seperti Asa.
Pada tanggal 11 September 2007, Asa telah dipanggil oleh Allah SWT.
Pada hari itu, Asa meninggalkan papa mamanya, rumahnya, Ainun teman barunya, dan juga semua yang ada di dunia dengan tersenyum. Teman-teman dan setiap pen-takjiah yang hadir di rumah Asa, tak kuasa meneteskan air mata melihat jasad Asa. Teman-teman sekolah Asa mengatakan, Asa tidak pergi, Asa masih tersenyum kepada kita semua.
Asa, bernama lengkap Asa Putri Utami. Asa terkena penyakit Lupus yang terdeteksi saat Asa berusia 5 tahun. Di usia 8 tahun, Asa baru mengetahui kalau dirinya terkena penyakit Lupus. Pada usia 10 tahun, Asa telah dipanggil oleh Allah SWT.
Seorang anak kecil dengan kesabaran, ketabahan, dan rasa peduli yang luar biasa bahkan saat dia sendiri kesakitan, dia masih empati sekaligus mendoakan orang lain yang juga mengalami sakit.(Dhoni Hartanto/Media FORMMIT Utaratu)