Konversi Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia

Terlepas dari nominal yang sesungguhnya, menggelembungnya jumlah pengangguran ini tentu saja akan kontraproduktif dengan Gerakan Penanggulangan Pengangguran (GPP) 2008 yang dicanangkan Depnakertrans bulan April lalu. Alih-alih target 5,6 persen pengangguran akan tercapai tahun 2009, yang terjadi justru sebaliknya. Iklim perekonomian yang tidak kondusif, tentu saja tidak akan membuka peluang perluasan kesempatan kerja bagi pencari kerja dan penciptaan lapangan kerja baru. Dikawatirkan, seperti tahun-tahun sebelumnya, pemerintah akan mengambil jalan pintas untuk mengatasi pengangguran ini dengan mengingkatkan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri.

Sarat Masalah

APBN Perubahan 2008 memberikan alokasi anggaran sebesar lebih dari 246 milyar rupiah kepada Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI), diatas Bakornas Penanganan Bencana atau KPK sekalipun. Implikasi kenaikan angka pengangguran ini tentu akan membuat BNP2TKI ditekan untuk meningkatkan angka pengiriman TKI ke LN. Bagaimanapun, pengiriman TKI ke LN ini masih mencari ”jalan pintas” yang bisa mengatasi masalah pengangguran dalam negeri, sekaligus sumber remitansi yang besar, seperti hingga US $ 4.364.023.194 pada tahun 2007. Padahal, sudah menjadi rahasia umum bahwa pengiriman TKI ke LN ini sarat masalah, mulai dari pemberangkatan, penempatan dan kepulangan.

Hal lain yang cukup memprihatinkan adalah kenyataan bahwa sebagian besar TKI kita adalah pekerja informal (pembantu rumah tangga). Hasil catatan BN2PTKI pada Agustus 2007 menyebutkan bahwa sebanyak 239.760 TKI bekerja di kawasan Asia Pasifik dan Amerika, sebanyak 52% (124.827 orang) bekerja di sektor formal, dan 48% (114.933 orang) bekerja di sektor informal. Sementara untuk kawasan Timur Tengah dari 680.000 TKI, sebanyak 26% (177.568 orang) di sektor formal dan 74% (502.432 orang) di sektor informal. Sementara menurut Dirjen Binapenta Depnakertrans, menurut data tahun 2007, jumlah penempatan TKI ke luar negeri mencapai 696.746 orang, dengan rincian TKI formal 196.191 (28%) dan TKI informal 500.555 (72%). Hasil kunjungan penulis ke penjara imigrasi (detention center) Sansia di Taiwan misalnya, membuktikan bahwa rata-rata buruh migran yang bermasalah ini adalah TKW kita yang bekerja sebagai PRT.

From Kunjungan ke Penjara Hsinchu


Banyak diantara mereka yang rendah pendidikannya, tidak menguasai bahasa setempat apalagi bahasa Inggris, dan tidak paham akan hak-haknya. Mereka adalah lahan empuk bagi PJTKI atau agensi nakal, dan tidak sedikit yang terindikasi menjadi korban mafia human trafficking. Prosedur dan syarat keberangkatan TKI informal ini juga lebih mudah, cukup membayar uang 3 juta rupiah, langsung bisa berangkat, bandingkan dengan TKI di sektor formal (industri) yang harus merogoh kocek hingga 37 juta rupiah bahkan dengan seleksi kognitif, skill, dan kesehatan yang cukup ketat.

Sementara perlindungan hukum yang mereka terima masih sedemikian lemah, bahkan untuk kasus-kasus berat yang menimpa mereka seperti pemerkosaan, penyiksaan, hingga pembunuhan. Belum terhitung kasus-kasus penipuan oleh agensi, pembayaran gaji dibawah standar, gaji yang tidak dibayarkan, penahanan paspor oleh majikan, lari dari majikan dan banyak lagi. Premi asuransi yang harus mereka bayarkan sebelum berangkat seringkali tidak membantu mereka untuk mendapatkan bantuan hukum, entah karena tidak berjalannya sistem bantuan oleh pengacara negara setempat yang disewa untuk membantu kasus hukum tersebut, atau kurangnya sosialisasi yang mereka terima tentang bantuan hukum itu. Kalaupun ada TKI yang mendapatkan masalah dan berjuang sendiri untuk mengajukan kasusnya ke pengadilan, seringkali mereka dihadapkan pada masalah sulitnya mengajukan bukti (seperti pada kasus perkosaan, dimana rata-rata mereka baru melaporkan ketika kejadian pemerkosaan telah lewat beberapa waktu), kehilangan pekerjaan karena mengurusi persidangan yang lama, dan dukungan yang lemah bahkan dari perwakilan pemerintah Indonesia di negara setempat. Disisi lain, masih belum banyak terbentuk asosiasi TKI yang cukup kuat di seluruh negara penempatan TKI (seperti asosiasi TKI di Hongkong yang cukup bagus) yang bisa memberikan dukungan atas kasus-kasus TKI yang ada. Bantuan yang diberikan oleh sesama TKI ataupun WNI di negara setempat, seperti para mahasiswa, masih bersifat sporadis dan kasuistik.

Dari Informal ke Profesional

Kasus-kasus TKI bermasalah sedemikian besarnya, untuk Malaysia saja Menakertrans menyebut angka prediksi sekitar 80 ribu orang untuk tahun 2008. Sementara data kekerasan yang menimpa TKI yang dicatat LSM Migrant Care pada tahun 2007 yang terbesar terjadi di Malaysia (39%) dan Arab Saudi (38%), dan dari jumlah tersebut tentu sebagian besar menimpa TKI yang berkerja di sektor informal. Kondisi yang sedemikian memprihatinkan ini tentunya harus segera diselesaikan oleh pemerintah. Bagaimanapun, rendahnya pengetahuan, pendidikan dan ketrampilan TKI yang berkerja di sektor informal ini menjadi salah satu penyebab banyaknya kasus yang menimpa TKI kita. Data Migrant Care menyebutkan bahwa mayoritas PRT migran Indonesia tidak sekolah, tidak lulus SD, lulus SD (43%), lulus SMP, dan sebagian kecil lulus SMA. Tidak bisa dipungkiri bahwa pekerjaan sebagai (maaf) babu ini di dalam struktur masyarakat manapun, masih dianggap kelas bawah dan tidak jarang diperlakukan oleh sang majikan dengan semena-mena.

Fakta bahwa sebagian besar TKW kita yang bekerja di LN adalah muslimah, harus disikapi juga dari sisi syariah. Berkaitan dengan safar wanita ada kurang lebih 21 hadits yang makbul, ada yang menjelaskan bahwa wanita mutlak (sama sekali) tidak boleh bepergian kecuali dengan mahram, ada yang menjelaskan bahwa wanita tidak boleh bepergian yang membutuhkan waktu perjalanan satu hari satu malam (atau lebih) kecuali dengan mahram dan ada pula yang menjelaskan bahwa wanita tidak boleh bepergian yang membutuhkan waktu perjalanan dua hari dua malam (atau lebih). Intinya, bepergiannya seorang wanita yang tidak disertai mahram ini diharamkan. Kalaupun kemudian jika berniat mukim setelah perjalanan yang kurang dari satu hari satu malam, maka harus dilihat bagaimana kondisi dia ketika berada di LN. Jika kondisi tempat baru yang dia bermukim disana tidak memungkinkan dia menjalankan sholat atau ibadah-ibadah lain (kasus tidak boleh mengenakan mukena putih di Taiwan atau tidak diberi waktu untuk sholat), harus memakan yang haram (makan babi), melaksanakan pekerjaan-pekerjaan haram, atau akan jatuh dalam kemudharatan (seperti banyak penyiksaan atau pemerkosaan), maka jatuhnya hukum berpindahnya dia ke tempat yang baru tersebut juga haram. Fakta lain yang terjadi, justru para wanita yang berangkat bekerja, sementara sang suami menganggur di rumah, tentunya hal ini juga menyalahi aturan syara’. Banyak kasus kehancuran keluarga, zina dll bermula dari berangkatnya istri sebagai PRT ke LN. Dari kondisi ini, alasan pemberangkatan TKW ke LN akan menurunkan pengangguran tidaklah tepat, yang benar hanya mengalihkan tanggung jawab bekerja dari kepala rumah tangga (suami) kepada istrinya. Wajar jika kemudian MUI mengeluarkan fatwa haramnya pengiriman TKI ke LN pada tahun 2005, yang ditentang banyak pihak, termasuk LSM buruh migran hanya karena logika keliru soal kebutuhan ekonomi.

Betul bahwa pengiriman TKI ini memberikan remitansi yang cukup besar bagi negara, bahkan pada beberapa daerah ”pengekspor TKI”, aliran uang yang masuk dari para TKI ini bisa lebih besar dibanding APBD daerah terkait. Namun hal ini adalah perolehan overall, artinya mencakup TKI di bidang informal dan formal. Jika melihat gaji PRT kita di Malaysia yang maksimal 500 ringgit (1,4 juta rupiah) atau di Saudi 600 real (1,4 juta rupiah), maka jumlah ini relatif kecil, lebih rendah dari TKA Filipina yang sama-sama bekerja sebagai PRT.

Sebenarnya, jika kita mau mengalihkan konsentrasi TKI kita ke sektor formal, bahkan tenaga profesional maka pendapatan TKI kita jauh lebih besar. Di Taiwan, TKI yang bekerja sebagai buruh pabrik dan PRT (blue-collar workers)mendapatkan gaji sekitar NT$17,000 (5 juta rupiah), itupun akan menerima penuh tanpa potongan lagi setelah paling tidak bekerja selama hampir satu tahun. Jika dibandingkan dengan pekerja profesional terlatih (foreign white-collar workers) akan jauh lebih besar, bisa mendapatkan gaji hingga sekitar NT$50,000 (15 juta rupiah), bahkan Bureau of Employment and Vocational Training Taiwan menyebutkan bahwa gaji yang diterima pekerja white-collar ini tidak lebih rendah dari rata-rata gaji bulanan yang ditetapkan Council of Labor Affairs, yaitu sebesar NT$ 76,924 (23 juta rupiah) per Februari 2007. Peluang untuk pekerja profesional ini cukup besar, juga di banyak negara lain seperti di kawasan Eropa Tengah dan Timur, Australia, New Zealand, Jepang dan banyak lagi.

From Kunjungan ke Penjara Hsinchu


Pekerja Akademik

Selain pekerja profesional di sektor industri, kesehatan, pariwisata dan perdagangan, hal lain yang cukup menarik, adalah fenomena Cina dan India untuk penetrasi di bidang akademik. Pemerintah India dan Cina mendorong anak-anak bangsanya untuk belajar ke LN, baik dengan beasiswa maupun tidak, mulai S1 hingga S3, lalu mereka bekerja di tempat mereka belajar, baik post doctoral fellow, menjadi dosen di universitas atau bekerja di industri, hingga tidak jarang diantara mereka yang pindah kewarganegaraan. Kita bisa membuktikan kiprah mereka dalam publikasi-publikasi ilmiah dari universitas atau lembaga riset di seluruh dunia, yang dipenuhi dengan nama-nama Cina dan India. Dilihat dari segi pendapatan materi jelas luar biasa besar, apalagi jika mereka berprestasi. Walaupun demikian, fisik, budaya, dan keberpihakan mereka tetap kepada Cina atau India. Mereka banyak membantu saudara sebangsanya untuk mengakses sekolah atau pekerjaan di negara mereka tinggal, memberikan kontribusi informasi hingga investasi pada negaranya masing-masing. India misalnya, banyak melahirkan ahli-ahli IT yang mendominasi lembaga-lembaga IT dan berperan penuh dalam akselerasi IT di dunia.

Di luar Cina dan India, tentu kita masih ingat sosok Profesor Abdus Salam, peraih Nobel Fisika 1979. Lahir dan besar di Pakistan, lalu sekolah ke Inggris hingga tamat PhD. Kecintaan pada tanah air, membuat dia kembali ke Pakistan dan menjadi profesor di universitas nomor satu di Pakistan, hingga menjadi ketua jurusan Fisika di sana. Namun dia menderita disana akibat terisolasi dari dunia akademik (padahal dia kerja di universitas terbaik negeri itu), tidak ada dukungan dari pemerintah, tidak ada tradisi riset, tidak ada jurnal, bahkan tidak ada peluang ikut seminar. Terpaksalah ia kembali ke Inggris dan menjadi dosen di Cambridge, menjadi profesor penuh di Imperial College London, dan mendirikan The Abdus Salam International Centre for Theoretical Phisics-ICTP yang kini menjadi lembaga ilmiah yang diperhitungkan di dunia. Dia bisa menjadikan Pakistan lebih bersinar. Atau dari Indonesia kita punya BJ Habibie, bagaimana kiprah dia dan bagaimana Jerman begitu membutuhkan dia, sudah banyak orang Indonesia yang tahu. Kita butuh banyak pekerja-pekerja profesional seperti mereka-mereka ini.

Konversi pengiriman TKI menjadi tenaga profesional ini, akan mendatangkan multiplier effect jangka panjang, baik devisa, investasi, informasi, transfer teknologi hingga dukungan politik. Hal ini secara tidak langsung akan menghadirkan iklim perekonomian yang sehat dan stabil, menciptakan lapangan pekerjaan bagi para pekerja informal yang selama ini harus berdarah-darah di LN, dan sekaligus mengakhiri penderitaan-penderitaan mereka. Pengiriman TKI informal yang tidak terdidik, khususnya para wanita, dihentikan saja. Kecuali jika hanya berniat untuk ”membuang” mereka jauh ke negeri orang.


*****

Comments

comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *