Sayangnya, kaum Muslimin tidak banyak yang tahu, atau bahkan tidak mau tahu dengan hal-hal semacam itu. Apalagi pihak restoran atau rumah makan memang tidak berusaha memberitahu konsumen. Malah banyak yang tidak paham bahwa ang chiu itu tergolong haram.
Akibatnya, kaum Muslimin tenang-tenang saja. Di restoran yang terkenal itu, banyak pengunjungnya adalah kaum wanita yang berjilbab. Barangkali mereka terkecoh dengan tulisan “100% Halal” yang sengaja dipasang besar-besar oleh pihak restoran. Hanya beberapa gelintir konsumen yang bisa bersikap seperti Oni, yang punya daya kritis untuk menanyakan halal tidaknya makanan yang hendak dikonsumsi. Dan begitu tahu bahwa makanan di situ haram, “Kapok saya.”
Di Berbagai Daerah
Berdasar pengamatan Hidayatullah, ang chiu banyak digunakan oleh restoran-restoran terkenal. Terutama restoran yang masuk katagori Chinese food, sea food, dan Japanese food. Bahkan beberapa restoran yang menyajikan masakan khas Jawa Barat pun tak luput menggunakan benda haram itu.
Tidak cuma di Jadebotabek. Hal serupa bisa dijumpai pula di daerah lain, seperti Yogyakarta. Nanung Danar Dono, bendahara LPPOM MUI Yogyakarta punya cerita tersendiri tentang hal ini.
Tidak cuma sekali LPPOM MUI Yogyakarta mendapat pengaduan dari seorang konsumen, yang merasa tertipu makanan yang seolah halal tetapi ternyata haram. Salah satunya mengaku pernah mengadakan acara keluarga di sebuah rumah makan yang terang-terangan memasang tulisan ‘Seluruh produk yang dijual dijamin halal’.
Salah seorang anggota keluarga coba menanyakan, apakah di sini juga menyediakan babi? Jawabnya sungguh mengejutkan, “Ada.”
“Kontan saja acara keluarga itupun dibatalkan,” kisah Nanung yang juga Dosen Fakultas Peternakan UGM itu.
Nanung juga pernah melakukan audit terhadap beberapa rumah makan di daerah wisata Cangkringan Kaliurang. Ternyata salah satu bahan racikan yang tidak pernah ketinggalan adalah ang chiu.
Jangan dibayangkan bahwa ang chiu cuma beredar di restoran terkenal atau rumah makan besar. Nasi goreng pinggir jalan pun kebanyakan menggunakannya. Ini misalnya bisa dijumpai di kawasan Tangerang (Jabar). Ade Kurniawan, seorang penggemar nasi goreng, terkaget-kaget dibuatnya, karena ternyata selama ini dia sering mengkonsumsi makanan itu.
Label Haram
Beberapa konsumen mengaku bingung ketika tahu bahwa makanan yang dikonsumsinya ternyata mengandung bahan haram. Tidak tahu harus berbuat apa, atau mengadu kepada siapa.
Pemerintah yang mestinya bertindak sebagai pengawas juga tidak menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. “Pemerintah belum serius mengawasi restoran atau perusahaan yang menggunakan bahan haram. Padahal peredaran makanan haram dan minuman keras banyak terjadi di restoran-restoran,” ujar Aisyah.
Hal senada dikatakan oleh Zaim Saidi, Direktur Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC). Di negeri ini tidak jelas, siapa yang seharusnya mengawasi barang halal atau haram yang beredar di pasaran. Sebetulnya Departemen Kesehatan pernah punya keputusan setingkat menteri yang menyatakan bahwa makanan yang mengandung babi itu harus diberi label bergambar kepala babi warnah merah. “Peraturan itu sudah ada sejak tahun 1976 namun tidak diterapkan dengan baik,” katanya.
Ini berbeda dengan negara tetangga Malaysia misalnya. Menurut penuturan Donant D Iskandar, seorang dosen yang lama tinggal di Malaysia, proteksi terhadap konsumen Muslim sangat ketat. “Restoran diawasi secara ketat. Daftar makanan disosialisasikan dengan gencar di media massa cetak maupun elektronik. Konsumen Muslim merasa nyaman di sana,” katanya.
Beberapa saat lalu PIRAC pernah mengadakan survei. Di pasaran ternyata banyak ditemukan barang haram tetapi tidak diberitahukan kepada konsumen. Terutama barang-barang impor seperti makanan kaleng yang mengandung daging babi atau minyak babi. Kadang ada labelnya, tetapi terlalu kecil sehingga tidak semua orang tahu. “Mereka yang menjual barang haram dan tidak memberitahu konsumen, semestinya diberi sanksi,” kata Zaim lagi.
Namun Zaim justru tidak mau ribut dengan urusan label halal. Yang lebih penting menurutnya adalah pencantuman ‘label haram’. “Makanan halal itu tidak ada masalah. Jumlahnya pun pasti jauh lebih banyak daripada yang haram. Karena itu yang bermasalah adalah barang yang haram, ini yang harus diatur.”
Zaim menilai, selama ini logika masyarakat keliru karena cuma meributkan makanan yang halal. Semestinya, pencantuman ‘label haram’ yang diperlukan. Dengan begitu, kaum Muslimin otomatis tak akan mengkonsumsinya. Ini jauh lebih mudah daripada mendeteksi mana makanan yang halal, padahal ketika diteliti ternyata haram.
Nah, kalau ada produsen yang tidak mencantumkan label haram, padahal di dalamnya jelas-jelas terkandung barang haram, itulah yang harus dikenai sanksi tegas. Masalahnya, siapa yang berwenang memberi sanksi? Serba susah memang. [Jumari, Khoironi, M Ichsan Kamil, Masjidi, Ahmad Damanik /Hidayatullah]
Sumber : http://swaramuslim.com