Allah berfirman, “Hai orang-prang yang beriman bertakwalah kamu kepada Allah dan hendaklah kamu bersama-sama orang yang benar/jujur.” (At-Taubah: 199).
Sedangkan dalam sabdanya Rasulullah bersabda, “Tinggalkanlah apa saja yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya jujur itu menenangkan, sedangkan dusta itu menggelisahkan.” (H.R. Tirmidzi)
Lalu kenapa kasus di atas terjadi dengan begitu masifnya? Itu semua bermuara dari keyakinan bahwa kebahagiaan itu terletak pada banyaknya jumlah materi yang dimiliki, dan itu merupakan buah dari pola pikir yang pragmatis dan materialistis. Hasilnya, untuk mendapatkan itu, semua cara pun ditempuh, tak terkecuali harus menipu orang lain.
Dalam pandangan Islam, tentu saja keyakinan ini tidak dibenarkan. Islam tidak memandang materi sebagai standarisasi kebahagiaan. Kebahagiaan sejati adalah kebahagiaan jiwa, dan jiwa akan merasakan kebahagiaan manakala ia memperoleh ketenangan, dan ketenangan akan dirasakan, manakala seseorang melakukan kebajikan. Sedangkan jujur sendiri merupakan cermin dari suatu kebajikkan. Sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, “Hendaklah kalian berperilaku jujur, karena jujur itu akan menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan itu akan menunjukkan ke pada surga.” (Muttafaqun ’Ilaih).
Sedangkan dalam kitab Al-Arba’in, Imam Nawawi (pengarang kitab), mencantumkan sebuah hadits yang berbunyi, ”Kebajikan itu apa saja yang jiwa merasa tenang olehnya, dan hati merasa tentram kepadanya…” (HR. Ahmad)
Adakah kebahagiaan yang mampu melebihi kebahagiaan jiwa ini? Bukankah telah terpampang begitu jelasnya di hadapan kita, betapa banyak orang kaya justru mengaklhiri hidupnya dengan cara bunuh diri? Termasuk dalam kategori orang yang bahagiakah mereka yang demikian?
Selaras dengan dua hadits di atas, dalam kitab Qiraa’atu Ar-Rasyidah, disebutkan sebuah kisah, pada suatu hari datang seseorang kepada Nabi untuk berislam. Setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, laki-laki tersebut menerangkan kepada beliau bahwa ia termasuk ahli maksiat, dan ia tidak mampu menghindarinya. Kemudian, laki-laki tersebut meminta nasihat ke pada Rasulullah.
Terhadapnya Rasulullah berkata, ”Hal tu’aahiduni ’ala tarkil kadzibi?” (Maukah engkau berjanji untuk tidak berbohong?) Laki-laki tersebut menyanggupinya. Hingga tibalah suatu hari ia berhasrat untuk melakukan maksiat. Ia teringat akan janjinya dengan Rasulullah untuk berperilaku jujur, ”apakah yang akan menjadi jawabanku, sekiranya Rasulullah menanyaiku tentang perbuatanku ini? Sekiranya aku jawab dengan ”ia”, pastilah beliau akan menghukumku. Namun, apabila aku jawab dengan ”tidak”, maka aku telah berbohong. Padahal, aku telah mengikat janji padanya untuk berperilaku jujur,” ujar laki-laki tersebut membatin.
Pada akhirnya mampulah laki-laki tersebut mengendalikan hawa nafsunya untuk tidak bermaksiat, perantara janjinya kepada Rasulullah untuk berperilaku jujur, hingga ia menemui ajal dalam kesalehan.
Yang jelas, di banyak ayat dalam Al-Quran sudah disebutkan haram dan larangan menipu, korupsi dan mengurangi timbangan.
“Penuhilah takaran dan jangan kamu menjadi orang yang suka mengurangi; dan timbanglah dengan jujur dan lurus, dan jangan mengurangi hak orang lain dan jangan kamu berbuat kerusakan di permukaan bumi.” (As-Syu’ara’: 181-183)
Kesimpulannya, untuk memperoleh kebahagiaan hidup secara individu, lebih-lebih secara jama’i, sikap jujur sangatlah diperlukan. Sedangkan dusta sendiri, merupakan perkara yang akan membawa kita kepada kegundahan hidup, dan menyeret ke neraka, karena dusta sendiri merupakan perbuatan orang-orang munafik. Sedangkan orang-orang munafik tempatnya di akhirat adalah dasar neraka jahannam. Wallahu ’alam bis-showab. (Selesai)
Sumber: Hidayatullah.com