Taipei, Hujan dan Mr. Han

[Cerpen karya Jenny Ervina]

Layar dinding profil dalam account facebook-ku ditandai sebuah poster bertuliskan informasi mengenai kegiatan yang akan diadakan oleh KMIT (Keluarga Muslim Indonesia Taiwan), bekerja sama dengan IC3T (Indonesian Committee for Science and Technology).

Dalam poster itu terpampang sebuah foto seorang lelaki berpenampilan santai, tapi matang. Bersejajar dengan fotonya tertulis bahwa lelaki itu yang akan menjadi pembicara dalam kegiatan tersebut. Di baris bawahnya lagi, tercantum beberapa nama sebagai contact person dari kalangan mahasiswa.

Cluster discussion Engineering dengan tema “An Introduction to Semiconductor Testing” ini difokuskan untuk pengujian device dengan berbagai technology. Sehingga kelak peserta bisa mengembangkannya di tanah air. Dan sebagai informasi tambahan, teman yang menandai poster tersebut yang kebetulan sudah lama aku kenal di dunia maya, menuliskan bahwa kegiatan diskusi ini berlangsung di National Taiwan University of Science and Technology (NTUST), tepatnya di Taipei. Yang berarti memakan waktu sekitar dua jam perjalanan dari tempatku bekerja, yaitu Hsinchu.

Organisasi-organisasi yang tersebar di Taiwan, khususnya yang dibentuk oleh mahasiswa Indonesia maupun para buruh migran, memang tidak jarang mengadakan kegiatan positif seperti ini. Dan itu sebagai bagian dari bukti bahwa kami, warga Negara Indonesia yang sedang berjuang di negeri asing juga secara tidak langsung turut serta dalam pembangunan Indonesia secara keseluruhan.

Dan aku memang bukan siapa-siapa di negeri ini. Tidak juga tertarik untuk ikut bergabung di sebuah kepengurusan organisasi ketika seorang teman mengompori. Apalagi rajin mengikuti setiap kegiatan yang kadang dilaksanakan di luar daerah tempatku bekerja. Kalau waktu bisa menjangkau perjalanan, aku pergi. Tapi kalau tidak, maka aku hanya menunggu informasi lanjutan yang akan dengan mudah aku dapatkan di sebuah website atau jejaring sosial.

Maka dengan sedikit pertimbangan, lamat-lamat kuperhatikan poster tersebut beserta informasi lainnya. Meski tema yang akan dibicarakan sangat jauh dari batas nalarku, tapi aku yakin, dengan mengikuti kegiatan tersebut aku akan banyak mendapatkan hikmah. Barangkali akan terjalin sebuah tali silaturahmi yang indah, atau secuil ilmu yang nanti bisa kucerna sebagai bahan tulisan di catatan dinding facebook. Atau anggap saja sekalian jalan-jalan keliling Taipei.

Ah! Masih ada seminggu. Berarti masih ada waktu untuk mengajukan permintaan libur kepada majikan. Ini moment yang tepat, dan aku tidak ingin melewatinya begitu saja. Dan sebelum kututup layar laptop, kusempatkan untuk mencatat nama-nama berserta nomor yang bisa dihubungi dalam jurnal kecilku. Aku harus pergi!

Persembahan untuk INA

[Cerpen karya Jenny Ervina]

Dengan sangat hati-hati Ina memapahku menuju pembaringan. Setengah menopang tubuhku yang beratnya mungkin dua kali lipat dari tubuhnya. Gadis manis berkebangsaan Indonesia yang baru aku ambil dari agency dua bulan yang lalu itu sengaja aku pekerjakakan sebagai perawat untuk menemaniku di usia yang sudah sangat senja ini.

Satu-satu obat beserta segelas air putih ia persiapkan di atas meja. Dan apabila jam sudah menunjukan tepat pada waktunya, maka dengan tanganya yang kasar Ina akan memberikannya padaku. Setelah itu akupun akan tertidur.

Tapi tak jarang kadang aku terbangun di tengah malam dan mengganggu kelelapan tidur Ina. Menyuruhnya membantuku menggantikan pampers yang sudah basah, atau hanya sekedar memijat kedua kakiku yang tak lagi bertenaga.

Sungguh, sebenarnya aku tidak tega melihat Ina terkantuk-kantuk demi melayaniku. Tapi apa boleh buat, toh aku memang membutuhkan keberadaannya. Sebagai pengganti anak-anakku yang sudah tidak lagi menghiraukanku.

Menurut tanggalan China, usiaku tahun ini sudah mencapai 87. Jelas bukan angka yang sedikit, mengingat banyaknya penyakit yang bersarang memenuhi tubuhku. Diabetes, darah tinggi, mata rabun, belum lagi penyakit jantung yang setiap saat akan dengan mudah merenggut nyawaku. Aku termasuk orang yang beruntung karena bisa melewati tahun demi tahun, sehingga bisa bertahan sampai saat ini.

Mengandalkan gaji pension yang tidak seberapa banyaknya, aku menghidupi kebutuhanku bersama Ina. Aku tidak terlalu suka menggantungkan diri kepada kedua anakku yang memang sudah tidak tinggal lagi bersamaku semenjak istriku meninggal. Mereka lebih senang menjalani kehidupan mereka masing-masing dan melupakan keberadaanku. Bagiku tidak masalah selama mereka tidak mengirimku ke panti jompo.

Ah, sekarang aku memang sudah renta. Tapi ingatanku masih mampu merekam banyak kenangan tentang masa lalu. Bagaimana gagahnya aku berdasi dan menjadi kepercayaan di perusahaan. Hilir mudik ke luar negeri melewati liburan musim dingin bersama istri dan anak-anak. Seolah Taiwan sebagai tempat awal kelahiranku sudah tidak lagi menjelma tempat menyenangkan.

Sampai akhirnya waktu merenggut semuanya dariku. Istriku meninggal, akupun sakit-sakitan. Sementara kekayaan yang dulu melimpah ruah perlahan digerogoti anak-anaku. Tinggallah aku sendiri di rumah yang tidak terlalu besar ini bersama Ina.