Ikhlas

[Cerpen karya Sofi Bramasta]

Awal tahun 2010 masih menyisakan segumpal kecewa dihatiku. Siska sahabat yang ku kenal di negeri rantau lebih dari dua tahun dan sudah ku anggap sebagai kakakku sendiri menghianatiku. Kak Siska bagiku bukan cuma sahabat, kakak sekaligus tempat curhat. Saking percayanya hingga suatu hari dia butuh uang, dengan senang hati aku pinjamkan passport yang merupakan nyawaku di negeri rantau sebagai jaminan pinjam uang di bank. Persahabatan yang di bina dengan kepercayaan dan ketulusan itu, musnah begitu saja dengan raibnya uangku HK$6000. Siska pergi entah kemana tak bisa ku cari jejaknya, dengan meninggalkan tagihan pinjaman yang harus kubayar.

Bulan Juli 2010

Liburan minggu itu kurasa begitu gelisah , aku sendiri tak tau entah mengapa? Sepulang liburan badanku terasa capek, kurebahkan tubuhku untuk melepas lelah. Baru saja mataku terpejam getaran handphone mengagetkanku, dengan malas setengah mengantuk ku gagapi dimana hpku berada. Ku lihat ada pesan singkat dari nomor Indonesia yang tak ku kenal “Dik Brama sudah bersamaku”. Glek, mataku terbelalak kaget “Siapa ini nyebut-nyebut nama Brama, ada apa denganmu anakku?” pikir panik. Segera ku telpon balik nomor yang tertera dipesan singkat tersebut. Dan….”gubrak”…ku banting handphone di atas kasur, darahku seolah terhenti, air bening keluar dari kedua sudut mataku. Aku terguguk pilu. Tahun 2009 aku mati-matian mendapatkan Brama dari keluarga papanya. Kini , ketika ku tinggal pergi, papanya malah mengambilnya tanpa seizinku “Huh..Begitu pengecutnya laki-laki itu!” gumamku.

Keesokan harinya adikku sms “Mbak Brama di ambil papanya.”

“Sudah tau ! Aku dulu bilang apa ? Masukkan ke pesantren saja. Papanya pasti nggak bisa nyari, tapi kamu cegah katanya masih kecil, kasihan… trus… gimana nasib keponakanmu sekarang ?” balasku.

“Aku nggak di rumah mbak , saat papanya ambil yang di rumah cuma mama” balas adikku.

“Ya sudahlah semua sudah terjadi , masak aku harus marah sama mama?” balasku kembali

“Kenapa sih mbak mau punya suami kayak gitu”

Aku terdiam baca sms adikku yang terakhir, secara tidak langsung dia telah merendahkanku. “Hmmm…kurang ajar adikku ini. Berani-beraninya menghina mbaknya.” Bisikku dalam hati. Emang istri adikku cantik, berwawasan, dan tubuhnya selalu di balut jilbab. Aku malu, apa yang dikatakan adikku yang usianya 7 tahun di bawahku itu benar, aku memang bodoh terlalu mudah percaya dengan rayuan laki-laki. Tapi gimana lagi! Semua sudah terjadi dan waktu nggak bisa di putar kembali.

Semenjak Brama bersama papanya, hatiku tak pernah tenang. Untung bocah itu ku bekali hp. Firasatku menunjukkan sinyal kegalauan, kayaknya masalah anakku dan papanya bakalan rumit. Makanya bocah 7 tahun kubekali hp untuk jaga diri, dan pulsanya aku transfer setiap bulannya. “Kalau ada apa-apa segera telpon ibu ya sayang” itu pesanku sama Brama.

Suatu hari telpon Brama mati, dengan kalut dan bingung ku telpon papanya segera.

“Kenapa hp Brama mati?!” tanyaku penuh emosi

“Begitukah kamu me-mindset anak ? apakah kamu nggak tau sekarang lagi booming video porno di internet?”

“ Emang dia bisa buka kayak gituan?”

“Emang kamu tau apa yang di lakukan anakmu? Brama tiap hari buka game. Hpnya sudah ku ganti play station”, suamiku berhenti sejenak dan melanjutkan dengan nada yang lebih tinggi “Bukankah dia minta PS tidak kau belikan? Ikut aku tinggal pilih mau PS 2 atau 3, mau makan sate atau daging tiap hari apa yang dia mau pasti aku turuti, nggak kayak di tempatmu kurus kucel” Jawaban itu membuatku limbung, tangis penyesalan menyesaki dadaku. Brama minta PS tak ku turuti bukan maksud aku pelit, tapi aku ingin dia fokus belajar dulu dan aku janji akan belikan kalau dia kelas 5 SD. Tapi mengapa semua jadi begini? Hpnya disita papanya.

Sumirat Musim Dingin

 

[Cerpen karya Yuherina Gusman]

“Musim dingin tahun ini benar-benar gila! Sama seperti awal kedatangan ku ke sini.” Zoe mengeluh seraya berkali-kali memperbaiki posisi syalnya. Tampaknya wol tebal yang terjalin indah tersebut tidak mampu menahan laju angin menembus kulitnya.

“Pakai ini kayaknya enak…” Zoe memegang jilbabku, yang terbuat dari katun tebal. Hohoho… belum tau dia, jilbab itu memang multi fungsi. Selain untuk menutup aurat jilbab berfungsi sebagai pelindung dari matahari di musim panas dan penghalau dingin di musim hujan. Bahkan juga bisa buat lap tangan kalau habis cuci tangan tapi stok tissue di kamar mandi sudah habis. Ops… 😛

“Emang kamu datang ke kampus ini sejak kapan?” tanyaku kemudian sembari tetap fokus mengetikkan beberapa draft kerjaan Zoe. Zoe merupakan asisten professor yang menjadi pembimbingku, sejak bulan kemarin aku diwajibkan untuk setor muka ke Sex Center. Wow… serem ya namanya, hehehe… nama yang benar seharusnya “Sexualities Research Center” namun anak-anak suka menyingkatnya menjadi Sex Center. Pusat penelitian yang menyebabkan kampusku terkenal dengan gender study nya. Konon kabarnya siy terbaik di Taiwan.

Kewajiban untuk mengisi absen ke sana bermula dari mentoknya thesis-ku yang tidak ada kemajuan  berarti sejak tiga bulan terakhir. Untuk memastikan aku benar-benar berkonsentrasi mengerjakan thesis maka ibu prof tersayang memintaku untuk mengerjakannya di Sex Center, sehingga dia bisa mengawasi secara langsung bahkan Zoe asisten kepercayaannya bisa mengawasiku selama lebih dari delapan jam sehari. Tentunya duduk dan hanya mengerjakan thesis merupakan pekerjaan yang sangat membosankan. Maka sebagai selingan, sering kali ku memaksa Zoe untuk memberikan pekerjaan yang tidak usah pakai mikir. Hehehe… jadilah aku sebagai sekretaris pribadi Zoe, menggetikkan draft-draft terjemahannya atau meng-scan-kan beberapa bahan kuliah yang diasisteninya. Asal jangan disuruh bersih-bersih ruangan dan bikin kopi aja. Lagian proyek penerjemahan yang sedang digarap Zoe adalah mengenai sepak terjang sebuah NGO yang bergerak dalam bidang ketenagakerjaan di Taiwan, khususnya pemberdayaan pekerja migran. So… hitung-hitung baca bahan dan cari pengembangan ide buat thesis juga.

“Aku pindah ke Zhong Li sejak tahun 2005. Dan katanya beberapa puluh tahun sebelumnya salju tidak hanya bisa ditemukan di puncak gunung, tapi selama musim dingin, di utara Taiwan juga turun salju, walau tipis sekali.”

“Hah salju!” sebagai makhluk tropis, aku sangat antusias sekali dengan salju. Warnanya yang putih… terlihat lembut dan membekukan benar-benar sebuah harmonisasi alam yang begitu indah.

Dui a… tapi itu dulu…“ jawab Zoe datar. Kembali memutar-mutar syalnya dan berkali-kali menyetel pemanas  yang ada diruangan.

“Kamu punya jilbab banyakkan… Kasih aku satu bagaimana? Dingin banget nih!” lagi-lagi Zoe mengeluh dingin, pake acara minta-minta jilbab pula! Ku balas permintaan Zoe dengan senyuman geli, hahaha… Tidak terbayang saja Zoe yang dalam istilah ilmiahnya terlihat seperti seorang Butch (wanita yang berpenampilan seperti pria) lalu tiba-tiba menggunakan jilbab yang sarat dengan stereotype feminin.