Gerontokrasi vis a vis Jeunisme dalam Kepemimpinan Bangsa Indonesia

(Refleksi 80 Tahun Sumpah Pemuda)

Muak. Itu perasaan yang tepat yang dirasakan Farid terhadap segala perkaitan hidupnya dengan semua yang kotor dan tertular kolonial. Itu pula yang menjadi alasan Farid untuk pergi dan melupakan ayahnya yang memilih menjadi NICA. Farid, pemuda Bekasi yang hatinya terbakar api revolusi, adalah tokoh anonim protagonis yang digambarkan dengan apik oleh Pramoedya Ananta Toer dalam romannya yang paling dini, Di Tepi Kali Bekasi.

Di Tepi Kali Bekasi melarungkan Bekasi sebagai daerah protes sosial dan perlawanan, sejak zaman particuliere landerijen (tanah-tanah partikelir), zaman Jepang, sampai kemerdekaan. Jika Chairil Anwar memakainya dalam Karawang-Bekasi, maka Pram mencomotnya sebagai setting sebuah epos tentang revolusi jiwa angkatan muda, dari jiwa jajahan, hamba, jongos, dan babu menjadi jiwa merdeka. Ada semacam kredo yang dipekikkan Pramoedya dalam novel ini, bahwa proposal masa depan selalu berada di tangan angkatan muda. (Lentera Dipantara, 2003)

Halal Bi Halal di KDEI

Minggu, 12 Oktober 2008, bertempat di No. 550, Rui Guang Road lantai 1 (masih gedung yang sama dengan KDEI namum beda lantai), KDEI (Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taiwan) mengundang segenap masyarakat Indonesia di Taiwan dalam acara Halal Bi Halal. Pukul 10.30 pagi waktu Taiwan, acara dimulai. Dan kebetulan, pada saat itu rombongan mahasiswa dari Taipei yang berjumlah sekitar 30-an orang baru saja datang. Jumlah yang cukup bisa membuat supir bus dan penumpang lain heran karena menguasai lebih dari 90 persen kapasitas penumpang.