Tidak sedikit pengusaha dengan alasan ketidakmampuannya membayar upah karyawan semaunya, padahal keuntungan pengusaha melimpah. Hanya dengan sedikit permainan akuntansi data bisa berubah, seolah perusahaan tidak memiliki keuntungan yang besar, sehingga dapat mengupah karyawan dengan upah yang rendah.
Islam sangat melarang manusia memakan harta dengan cara yang batil. Mengupah karyawan semaunya, padahal sebenarnya perusahaan mampu membayar lebih, ini merupakan kebatilan yang harus ditinggalkan.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisa [4]: 29).
Untuk itu, Didin Hafidhuddin dan Hendri Tanjung dalam bukunya, Sistem Penggajian Islam, menyebutkan, prinsip perhitungan besaran gaji sesuai syariah. Pertama, prinsip adil dan layak dalam penentuan besaran gaji.
Kedua, manajemen perusahaan secara terbuka dan jujur serta memahami kondisi internal dan situasi eksternal kebutuhan karyawan terhadap pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Ketiga, manajemen perusahaan perlu melakukan perhitungan maksimisasi (maximizing) besaran gaji yang sebanding dengan besaran nisab zakat.
Dan keempat, manajemen perusahaan perlu melakukan revisi perhitungan besaran gaji, baik di saat perusahaan laba maupun rugi, dan mengomunikasikannya kepada karyawan.
Untuk itu, pemilik perusahaan hendaknya menetapkan kebijakan kepada manajemen perusahaan untuk mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas sebagai sebuah tanggung jawabnya terhadap karyawan. Wallahu a’lam.
Sumber: Republika Online