***
Malam berlalu. Fajarpun merekah bagai mawar merah yang Ina tanam di sudut rumah. Itu berarti waktunya Ina bergumul dengan kesibukan yang aku ciptakan.
Masih dengan sisa kelelahan tadi malam, Ina membantuku bangun dari pembaringan. Memandikanku, menyiapkan sarapan, membersihkan kotoran, dan membereskan rumah. Untuk kemudian mengajaku berkeliling di sekitar taman di depan rumah menggunakan kursi roda.
Menyenangkan sekali rasanya melewati hari-hari senja bersama Ina. Meski kadang factor bahasa dan adat budaya jadi penghalang keakraban kami.
“Akong, cin tien wan sang ni yau ce se ma?” Tanyanya setiap kali senja turun dari atap rumahku. Menggantikan warna jingga keemasan menjadi kerlap kerlip gemintang dalam rengkuhan pesona malam.
Maka pada saat itu aku hanya berkata, “Ni kei wo cu si fan hau le. Kan Ni yau ce se ma?” dan untuk selanjutnya Ina akan dengan sabar mengikuti semua perintahku.
“Pu yau thai luan ye pu yau thai tuo. Pang I ke ci tan ken I tien cing chai hau pa?” mungkin butuh waktu agak sedikit lama untuk Ina mencerna setiap kata yang aku ucapkan. Mengingat keberadaanya di negeri ini masih seumuran jagung.
Sifat manulaku yang kadang timbul sering membuat Ina terlihat kesal. Kesalahan kecil yang Ina perbuat atau keterlambatannya memahami bahasa yang kuucap kerap menjadi alasan untuk aku memarahinya. Tapi Ina hanyalah seorang pekerja yang sedang berjuang demi menghidupi keluarganya di Indonesia sana. Maka satu kata yang mungkin sudah ia persiapkan untuk menghadapi sikap kasarku. Sabar.
Detik berlalu menggilas apa saja yang dilaluinya. Merenggut sisa jatah usiaku. Sekarang Ina sudah mulai pandai berbicara meski dengan intonasi yang masih berantakan. Tapi aku menghargai setiap usahanya untuk menghafal satu persatu nama peralatan dapur dan seisi rumah. jelas bukan hal mudah bagi Ina yang hanya lulusan SD di Indonesia sana. Sungguh. Bila mengingat perjuangan Ina aku akan dibuatnya terkagum-kagum. “Hebat sekali para TKW-TKW Indonesia itu…”
Suatu malam, Ina menghampiriku dengan memasang wajah sarat merajuk. Meski tidak tahu apa penyebabnya, tapi toh akhirnya aku mendengarkan juga keluhan yang ia sampaikan.
“Akong, Wo…” katanya terbata-bata. “Wo ke yi pai-pai ma?” hati-hati sekali Ina mengucapkan barisan kalimat itu sembari terus memijat kakiku yang tidak terasa pegal. “Ye ke yi pu ce cu rou ma?” kali ini dengan nada setengah memelas.
Aku yang memang bukan termasuk orang golongan percaya Tuhan hanya terdiam. Tapi berdebat dengan Ina tentang masalah ini rasanya juga tidak berguna. Aku tahu orang Indonesia mayoritas beragama muslim, dan memakan daging babi adalah salah satu pantangan terbesar bagi mereka. Tapi aku juga heran kenapa mereka masih mau bekerja di Taiwan sementara mereka sendiri tahu semua makanan kami jauh dari yang namanya halal.
Setelah membuat Ina tersudut dengan berbagai pertanyaan yang jelas jauh dari batas pengetahuannya tentang ‘kenapa dan apa alasannya’. Akhirnya kuiyakan juga permintaannya.
Ina, mungkin adalah salah satu orang yang paling ngotot dalam hal satu ini. Baginya kepercayaan adanya Tuhan dalam setiap lembaran hidupnya menjadi kekuatan tersendiri untuk menghadapi setiap cobaan. Dia bilang, ‘kakek boleh menyuruhku melakukan pekerjaan yang sangat berat sekalipun. Tapi satu yang aku pinta, perbolehkan aku shalat dan tidak memakan apa yang kalian makan.”
Kini sudah tidak lagi kuhiraukan apa yang Ina lakukan. Toh, nyatanya ia bekerja begitu giat dan sangat telaten mengurusku. Membuatku begitu saja menyayanginya melebihi kedua anak-anaku.
Tidak kupedulikan ocehan para tetangga yang kebetulan sering kutemui di taman waktu Ina membawaku jalan-jalan. Karena terlalu memanjakan Ina dengan memberinya kebebasan serta memenuhi segala kebutuhannya. Mereka bilang, ”Ah, pembantu jangan terlalu di kasih hati. Nanti malah minta jantung”. Tidak jarang pula kudengar gossip diantara sesama pekerja seperti Ina yang iri akan keberuntungannya. ‘Ah, barangkali si Ina kasih kakek itu jatah, makanya dia jadi makmur begini.”
Barangkali mungkin prasangka mereka tak seutuhnya benar. Karena disamping keinginan untuk menggoda Ina muncul, aku yang hanya seorang lelaki biasa juga kerap tidak bisa menyembunyikannya. Tapi seiring waktu berlalu aku menyadari bahwa Ina, datang ke negeri ini bertujuan untuk mencari nafkah guna membantu orang–orang yang disayanginya. Dan aku menghargai Ina dalam hal ini.
Masa kontarak Ina masih panjang. Tapi semakin hari kondisi kesehatanku mulai menurun. Satu bulan aku dirawat di rumah sakit karena jantungku mulai tidak berfungsi. Selama itu pula Ina dengan sabar menjagaku, karena mengharapkan kedatangan kedua anakku seolah menunggu sebuah keajaiban yang tidak mungkin terkabulkan.
Aku melihat kesedihan yang teramat di mata Ina. Seolah kesedihan itu adalah gambaran kasih sayang yang ia curahkan padaku selama ini. Ah, betapa beruntungnya aku mempekerjakan Ina yang memang seorang penyabar dan penyayang. Yang mau melakukan semua pekerjaan tanpa sarat. Tidak pernah mengeluh meski aku sering merepotkannya dengan pekerjaan berat.
Malam terakhir sebelum tutup usia, aku minta tolong pada dokter untuk menuliskan wasiat. Meski hanya sepenggal barisan kata bertuliskan,
Untuk Ina,
Terima kasih karena telah menjaga dan menemaniku selama ini.
Aku persembahkan rumahku sebagai penghargaan atas kesabaran menghadapi sifatku yang mungkin sering membuatmu menangis dan merindukan rumah.
‘Kakek’
Aku sempat melihat Ina menangis di samping tempat tidur sebelum akhirnya aku benar-benar menutup mata untuk selamanya. Ah, andai aku masih diberikan kesempatan untuk hidup lebih lama lagi. Aku ingin mengantarkan Ina pulang ke Indonesia dan melihat keindahan negeri itu, yang mayorits muslim dan terwakili dri seluruh sifat-sifat Ina. Terima kasih Ina… (*)
————————-
1. akong, cin tien wan sang ni yau ce sen me? = kakek, malam ini kamu mau makan apa?
2. ni kei wo ce si fan hau le. kan ni yau ce sen me? = kasih saya makan bubur saja. lihat kamu sendiri mau makan apa?
3. pu yau thai luan ye pu yau thai tuo. pang i ke ci tan ken i tien cing cai hau pa = jangan terlalu lembek dan jangan terlalu banyak. kasih satu telur dan sedikit sayur sudah cukup
4. akong, wo….=kakek, saya…
5. wo ke yi pai-pai ma? = saya boleh solat tidak?
6. ye ke yi pu ce cu rou ma? =juga boleh tidak makan daging babi ngga?