Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Puasa yang paling utama sesudah puasa Ramadlan adalah puasa pada Syahrullah (bulan Allah) Muharram. Sedangkan shalat malam merupakan shalat yang paling utama sesudah shalat fardlu.” (HR. Muslim, no. 1982)
Asyura Dalam Sejarah
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, berkata: “Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah dan melihat orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura. Beliau bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari baik. Pada hari ini Allah telah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa padanya” Beliau menjawab, “Maka saya lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.” Lalu beliau berpusa dan memerintahkan agar berpuasa padanya.” (HR. Al-Bukhari no. 1865)
Sesungguhnya puasa ‘Asyura sudah dikenal sejak zaman jahiliyah sebelum diutusnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Sesungguhnya orang-orang jahiliyah berpuasa ‘Asyura.” Menurut al-Qurthubi, boleh jadi bangsa Quraisy menyandarkan puasa ‘Asyura kepada syariat umat sebelumnya seperti Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Dan telah diriwayatkan juga, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berpuasa Asyura saat masih di Makkah sebelum hijrah ke Madinah. Maka ketika beliau hijrah ke Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpesta pada hari itu. Lalu beliau bertanya kepada mereka tentang sebabnya. Mereka menjawab sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar menyelisihi mereka supaya tidak menjadikannya sebagai hari besar sebagaimana yang diterangkan dalam hadits Abu Musa. Dia berkata, “Adalah hari ‘Asyura dijadikan oleh orang Yahudi sebagai hari besar (hari raya).” Dalam riwayat Muslim, “Adalah hari ‘Asyura diagungkan oleh orang Yahudi dan dijadikan sebagai hari besar (hari raya).” Dalam redaksi lain dalam riwayat Muslim, “Adalah penduduk Khaibar (Yahudi) menjadikannya sebagai hari besar (hari raya). Mereka memakaikan perhiasan dan pakaian indah kepada kaum wanitanya.” Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Maka berpuasalah kalian padanya.” (HR. al-Bukahri)
Secara zahir, perintah berpuasa pada hari ‘Asyura untuk menyelisihi orang Yahudi sehingga hari yang mereka rayakan untuk bersenang-senang kita diperintahkan untuk berpuasa padanya. Karena pada hari raya tidak boleh berpuasa.” (Ringkasan dari keterangan Ibnul Hajar rahimahullaah dalam Fath al-Baari Syarah Shahih al-Bukhari)
Keutamaan Hari ‘Asyura
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, berkata, “Aku tidak pernah melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam serius berpuasa sebagaimana berpuasa pada hari yang dimuliakannya atas hari selainnya kecuali hari ini, yakni hari ‘Asyura. Dan juga pada bulan ini, yakni bulan Ramadlan.” (HR. al-Bukahri no. 1867) semangat beliau tersebut dengan menyengaja puasa untuk mendapatkan pahalanya dan sangat-sangat menganjurkannya.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Puasa hari ‘Asyura, sungguh saya berharap kepada Allah supaya menghapuskan dosa setahun sebelumnya.” (HR. Muslim, no. 1976) dan ini merupakan karunia Allah untuk kita dengan menjadikan berpuasa satu hari untuk menghapus dosa setahun penuh, dan sungguh Allah adalah pemilik karunia yang besar.
Kapankah Hari ‘Asyura Itu?
Menurut penjelasan Imam al-Nawawi rahimahullaah, ‘Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan Muharram. Sedangkan tasu’a adalah hari kesembilannya. Demikianlah pendapat jumhur ulama dan yang nampak dari zahir hadits berdasarkan kemutlakan lafaznya dan yang sudah ma’ruf menurut ahli bahasa. (Disarikan dari al-Majmu’)
Ibnu Qudamah berkata, ‘Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan Muharram. Ini merupakan pendapat Sa’id bun Musayyib dan al-Hasan al-Bashri yang sesuai dengan yang diriwayat dari Ibnu ‘Abbas, “Rasullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan berpuasa pada hari ‘Asyura, hari kesepuluh dari bulan Muharram.” (HR. al-Tirmidzi, beliau menyatakan hadits tersebut hasan shahih)
Disunnahkah berpuasa Tasu’a dan ‘Asyura
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa padanya, mereka menyampaikan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya hari itu adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nashrani.’ Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Kalau begitu, pada tahun depan insya Allah kita berpuasa pada hari kesembilan’. Dan belum tiba tahun yang akan datang, namun Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam sudah wafat.” HR. Muslim, no. 1916)
Berkata Imam al-Syafi’i dan para sahabatnya, Ahmad, Ishaq dan selainnya, “Disunnahkan berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh secara keseluruhan, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam telah berpuasa pada hari ke sepuluh dan berniat puasa pada hari kesembilan.”
Dari sini, maka puasa ‘Asyura memiliki beberapa tingkatan: Paling rendah, berpuasa pada hari itu saja (hari kesepuluh saja). Di atasnya, berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh.
Ibnu Qoyim dalam kitabnya, Zaadul Ma’ad –Berdasarkan riwayat-riwayat yang ada- menjelaskan tentang urutan puasa ‘Asyuro: Yang paling sempurna adalah puasa tiga hari, yaitu puasa tanggal sepuluh dan sehari sebelum dan sesudahnya (9, 10, dan 11), urutan yang kedua adalah puasa tanggal sembilan dan sepuluhnya dan inilah yang banyak disebutkan dalam hadits, sedang urutan ketiga adalah puasa tanggal sepuluhnya saja.
Terkait dengan dalil yang memerintahkan puasa sebanyak tiga hari (9,10 dan 11) para ulama mengatakan bahwa riwayat Ibnu Abbas yang sering dijadikan landasannya adalah dha’if, dan karenanya tidak dapat dijadikan dalil. Akan tetapi pengamalannya tetap dibenarkan oleh para ulama dengan dua alasan: (1) Sebagai kehati-hatian, yaitu kemungkinan penetapan awal bulannya tidak tepat, maka puasa tanggal sebelasnya akan dapat memastikan bahwa seseorang mendapatkan puasa Tasu’a dan ‘Asyuro, (2) Dimasukkan dalam puasa tiga hari pertengahan bulan (Ayyamul Bidh).
Sumber:http://www.voa-islam.com/islamia/ibadah/2010/12/09/12213/menilik-keutamaan-bulan-muharram-dan-puasa-asyura/