Kunjungan FORMMIT Selatan ke Nantou Detention Center-National Immigration Agency

Alhamdulillah, pukul 10.30 rombongan sampai di DC-yang-benar. Beruntung Imam masih sabar menanti dan tetap tersenyum meski harus menunggu lebih dari satu jam. Tak berlama-lama, rombongan pun langsung menuju ke gedung DC Nantou yang merupakan temporary detention center untuk menahan sementara detainee yang berasal dari luar Taiwan. Setelah melewati petugas garda depan, rombongan diantar menuju bangunan utama dan segera diminta untuk membagi rombongan berdasarkan jenis kelamin, lantai dua untuk wanita dan lantai tiga untuk pria. Karena jumlah detainee pria asal Indonesia “hanya” 21 orang saja dan berada di satu ruang tahanan, Danurwendo A.S.W, Ali Mutasowifin, Samsul Anwar dan Slamet Widodo bersama dengan Imam menuju ruang yang sama di lantai 3. Lain halnya dengan detainee wanita asal Indonesia yang berjumlah sekitar 60 orang yang ditempatkan di dua ruang terpisah, yang kemudian memaksa Badariah Yosiyana, Dewi Titi Mulyani dan Bunga Primasari untuk menuju ruang yang berbeda.

Berdasarkan informasi dari rombongan ikhwan, alasan utama belum bebasnya para detainee pria yang sebelum ditahan bekerja sebagai pekerja pabrik dan awak kapal itu adalah karena mereka tidak memiliki uang. Dibutuhkan uang minimal sejumlah NT$ 18,000/orang untuk dapat pulang (sudah termasuk NT$ 10,000/orang untuk membayar denda/tax). Sedangkan mengenai kasus-kasus yang menyebabkan mereka ditahan adalah masalah klasik, seperti datang ke Taiwan tanpa VISA (illegal), kabur dari majikan (karena gaji kecil/tidak dibayar/tidak cocok) dan masalah perdokumenan lainnya. Status mereka, dua orang masih menunggu sidang. Detainee pria asal Indonesia yang paling lama sudah berada disana selama 3 bulan. Mengenai keseharian, sesekali terjadi perselisihan antarbangsa biasa.

Menurut informasi rombongan akhwat A, permasalahan utama yang dihadapi para detainee wanita, setali tiga uang, yaitu tidak memiliki biaya untuk pulang. Kalaupun ada uang, untuk proses pemulangan detainee asal Indonesia, ada kecenderungan prosesnya lama, sedangkan untuk detainee dari Vietnam atau Thailand, hanya perlu waktu sekitar 2 minggu saja untuk mengurus kepulangan. Jadi untuk masalah ini, tergantung kegigihan pengacara yang mengurus. Sebelum ditahan, para detainee wanita rata-rata bekerja sebagai pembantu rumah tangga, yang kemudian yang kabur dari rumah majikan, karena majikannya galak. Ada juga yang kabur dari agen karena tidak disalurkan ke majikan baru setelah majikan yang lama meninggal. Di ruang yang dikunjungi oleh Badariah Yosiyana dan Dewi Titi Mulyani ini, tercatat satu orang detainee yang telah berada di DC selama 4 bulan. Selain itu, dari obrolan singkat dengan para detainee didapatkan pula informasi bahwa untuk detainee yang beragama Kristen, tiap dua minggu sekali ada pendeta yang datang untuk memberi siraman rohani.

Berdasarkan informasi sang single-fighter, Bunga Primasari, kasus terbanyak yang menjerat para detainee adalah kabur dari agen atau kabur dari rumah majikan dan kawin kontrak. Di ruangan yang disambanginya, ada sekitar 30-an orang detainee asal Indonesia. Detainee paling senior yg dipanggil “Mami” oleh detainee lainnya sudah berada di DC selama 7 bulan, dengan kasus kawin kontrak dengan Taiwanese, sedangkan detainee paling junior “baru” berada di DC selama 2 hari. Selain itu ada pula detainee paling naas nasibnya, yang ketika baru saja menginjakkan kaki di bandara Taiwan, langsung ditangkap dan digiring ke DC oleh petugas. Alasannya adalah karena sebelumnya detainee tersebut pernah dideportasi (karena kasus kabur dari majikan) dan kemudian mencoba datang lagi ke Taiwan. Masalah agen yang “jahat” dan sering tidak memberikan uang libur dan uang ekstra, menjadi bahasan yang muncul disela-sela sesi curcol dengan para detainee. Selain itu, ada beberapa detainee yang pernah mencoba menyampaikan kesulitan-kesulitan mereka pada pihak perwakilan-Indonesia-yang-berada-di-Taiwan, namun ternyata responnya tidak terlalu hangat. Di ruang tahanan ini, sebagian besar detainee tidak merasa “terlalu menderita” karena mereka mendapatkan perlakuan yang baik dari petugas, teman-teman senasib-sepenanggungan, dan kemudahan dalam beribadah.

Selain informasi-informasi tersebut, didapatkan pula informasi tentang operasional DC Nantou yang ternyata ditanggung penuh oleh pemerintah Taiwan, sehingga para detainee disana bebas biaya logistik (kecuali untuk keperluan MCK). Hal ini berbeda dengan temporary DC yang ada di Shan Hua maupun Kaohsiung, dimana untuk urusan logistik para detainee harus menanggung biayanya sendiri. Sehingga untuk para detainee yang ditahan selain di Nantou, jika tidak lagi memiliki uang, mereka akan dikirim ke DC Nantou.

Pukul 11.45, rombongan FORMMIT Selatan yang dilepas dengan isak haru para detainee harus berpamitan karena waktu yang diberikan telah habis. Sayang sekali, karena sebelumnya salah tempat dan terlambat datang, maka waktu kunjungan yang seharusnya bisa lebih lama, terbentur jam makan siang. Ucapan terima kasih para detainee atas titipan berbagai macam barang mulai dari makanan, kerudung, mukena, hingga Al-Qur’an, masih terus terngiang-ngiang di telinga para mahasiswa ini hingga saat menuju pintu keluar mereka dikagetkan dengan permintaan para petugas yang ingin melakukan pengecekan content kamera mereka. Semua foto yang memuat gambar para detainee dihapus tanpa sisa. Sepertinya alasan pelanggaran hak asasi manusia lah yang membuat mereka melakukan hal ini.

Setelah berfoto bersama para petugas DC, rombongan menuju ke Masjid Taichung untuk mengantarkan Imam sekaligus melaksanakan sholat. Setelah sholat berjama’ah dan makan siang, para rombongan pun melanjutkan perjalanan ke Chiayi kemudian Tainan untuk pulang ke tempat tinggal masing-masing. [Bunga Primasari]

 

Comments

comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *