Jujur: Tips Manjur Menuju Hidup “Makmur” (Bagian 1)

***


Ada cerita nyata di salah satu kantin sekolah. Saat itu, terdapatlah dua anak kelas tiga SMP, yang baru saja menerima pengumuman bahwa diri mereka lulus. Dari sekian banyak peserta ujian di sekolah tersebut, hanya satu anak yang tidak lulus. Usut punya usut ternyata anak tersebut berusaha untuk tidak mengkhianati dirinya dengan cara tidak menyontek. Dalam kata lain, dia telah berperilaku jujur dalam menjawab soal-soal ujian.

Terhadap hal ini, dua anak yang sedang mengobrol di kantin tersebut, mencemooh apa yang telah dilakukan oleh anak yang tidak lulus. “Sok suci sih, gak mau nyontek. Ya, rasain sendiri akibatnya, dia sendiri yang tidak lulus,” demikianlah komentar salah satu di antara mereka.

Kasus di atas, setidaknya menunjukkan satu potret nyata, betapa sebagian dari masyarakat kita telah menghilangkan ataupun tidak mengindahkan konsep jujur dalam berperilaku. Nahasnya, hampir seluruh aspek kehidupan negeri ini, telah tercemari olehnya. Tak terkecuali masalah penetapan hukum yang seharus berdasarkan kepada kejujuran, dengan mengatakan yang salah itu salah, dan yang benar itu benar.

Sebaliknya, konsep hidup khianat, bohong, dusta, sepertinya telah menjadi suatu yang tak terpisahkan lagi dari setiap gerak-gerik kita. Seorang penjual, dengan culasnya membohongi para pembeli. Para hakim dengan mudahnya untuk disuap, sehingga keputusan mereka timpang sebelah. Begitu pula terhadap kasus-kasus yang lain.

Di dalam kehidupan kita, beredar motto hidup yang salah-kaprah, ucapan seperti “jujur hancur”, atau istilah-istilah lain, yang sesungguhnya adalah tabiat korupsi. “Obyek sana obyek sini”. “Kalau gak begini mas, hanya ngandalkan gaji kantor, gak cukup,” begitu istilahnya. Tabiat seperti itu, nampaknya telah terpatri dan mendarah daging di sebagian masyarakat kita. Padahal, tindakan itu adalah korupsi alias mencuri.

Tindakan korupsi dan tidak jujur ini ada di mana-mana. Di kantor, para pegawai yang ditugaskan belanja barang sering meminta slip bukti pembelian dua. Slip pembelian yang pertama asli. Slip kedua kosong. Nah, yang terakhir ini akan ditambahi sendiri sesuai keinginan dia. Para supir, sering juga melakukan tindakan korupsi. Ia sering memindahkan isi tanki bensin yang telah penuh ke botol-botol yang sudah disediakan. “Satu dua liter kan lumayan, setiap hari,” begitu ujarnya.

Para dokter, diam-diam juga sering “bermain mata” dengan detailer (sales obat). Ia akan merekomendasi si pasien obat-obat tertentu kepada pasien agar ia bisa mendapatkan tips dan honor di akhir penjualan. Pamrih seperti ini dilarang oleh agama.   

Perilaku korupsi, dusta, mencuri, mark up seperti ini, ada di mana-mana. Tak hanya di kantoran atau di jalanan. Di gedung-gedung tinggi bahkan pada kaum berdasi.


Kalau saja prinsip ini terus dipertahankan, sudah barang tentu dinamisasi dan harmonisasi kehidupan bermasyarakat akan terganggu, yang pada akhirnya akan menimbulkan gejolak kehancuran, ataupun kekacauan.

Bayangkan, adakah orang di muka bumi ini, sudi untuk ditipu/dibohongi orang lain? Tentu tidak akan ada. Kalaupun itu terjadi, maka ia akan sakit hati, bahkan, bisa jadi (hal ini dilarang dalam Islam) ia berinisiatif untuk membalas dengan balasan yang setimpal, ataupun lebih dari yang ia terima. (Bersambung)

Sumber: Hidayatullah.com

 

Comments

comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *