Jadii bagaimana awal dari terselenggaranya acara ini?
Amina: Saya adalah satu-satunya muslimah di sekolah ini dan saya mengenakan jilbab. Dan ini membuat orang-orang ingin tahu lebih jauh tentang Islam. Salah seorang guru mata pelajaran sejarah menanyakan apakah memungkinkan agar saya menyiapkan semacam pameran untuk mengenalkan Islam di sekolah ini. Lalu saya coba tanyakan masalah ini ke pengurus Masjid (Taipei Grand Mosque.red), dan mereka menyanggupinya. Dan akhirnya jadilah acara ini.
Bagaimana latar belakang Anda dan keluarga Anda kalau boleh tahu?
Amina: Pada dasarnya saya adalah imigran. Saya dilahirkan di Arab Saudi, dan sempat bersekolah di sana selama beberapa tahun. Jadi saya bisa berbahasa Arab walaupun hanya dasar. Di sana saya mengambil sekolah internasional, jadi kemampuan berbahasa Inggris saya cukup terasah di situ. Ayah saya orang Taiwan yang bekerja di Arab Saudi, sedangkan Ibu saya, sekalipun ia berdarah Taiwan, ia murni dilahirkan dan dibesarkan di Arab. Bahasa mandarin pun terbatas baginya. Keluarga besar ibu saya pergi ke Arab tatkala pecah perang di dalam negara Cina (Cina daratan.red). namun, sekalipun saya dan keluarga sudah cukup terbiasa dengan Arab Saudi, di dalam paspor kami semua, tercantum kewarganegaraan Taiwan. Jadi sekalipun lahir dan besar di Arab, itu tidak mengubah kebangsaan saya, yakni Taiwan.
Anda mengenakan jilbab di sekolah, apakah itu tidak dilihat aneh oleh anak-anak lain?
Amina: Pada mulanya iya. Anak-anak yang tidak paham selalu melihat saya dengan pandangan aneh dan kadang mereka menertawakan saya. Tapi itu mulanya saja. Mereka kerap menanyakan tentang Islam dan menghubung-hubungkannya dengan berita internasional, seperti siapakah bin Laden itu (Osama.red) atau apa kaitan Islam dan kekerasan (teror bom.red). Dan saya mencoba menjelaskan bahwa Islam tidak seperti itu. Lambat laun mereka paham bahwa Islam tidak seperti yang diberitakan di media-media barat. Bahkan di dalam kelas mereka menyediakan saya tempat untuk salat. Bahkan mereka yang dekat dengan saya memanggil saya dengan nama arab saya, Amina, tidak dengan nama Taiwan saya. Kadang saya ajak juga mereka ke masjid untuk melihat aktivitas-aktivitas muslim dan muslimah di sana. Dan yang membuat saya sempat terkejut, mereka bahkan meliputnya di majalah dinding sekolah. Ini membuat saya cukup gembira. Mereka cukup antusias.
Bagaimana dengan guru-guru Anda?
Amina: Mereka sangat mendukung saya. Dan mereka juga ingin lebih tahu banyak tentang agama ini. Terlebih ada kesempatan untuk melihat langsung penjelasan tentang Islam dari penganutnya, bukan hanya dari kelas atau buku atau berita-berita yang kadang negatif.
Dengan keadaan lingkungan yang cukup berbeda itu, bukankah cukup sulit untuk bisa mempertahankan Hijab yang Anda kenakan?
Amina: Ya, itu memang sulit. Tapi saya seringkali dinasehati oleh Ibu, “Jadilah diri sendiri, jangan memikirkan apa yang orang lain pikirkan tentang kamu.” Dan saya rasa ini adalah kekuatan keimanan dari seseorang. Saya tahu bahwa muslimah taiwan seusia saya mengalami kesulitan dalam berpakaian (berhijab.red). Dalam berbagai kesempatan, saya selalu mengajak mereka untuk bersama-sama mengenakan hijab, sekalipun itu cukup berat. Tapi saya sanggup melakukannya. Dan saya yakin dengan keimanan saya.
Setelah ini adakah rencana sejenis yang akan Anda lakukan?
Amina: Setelah ini, saya berpikir untuk mengadakan acara sejenis di sekolah adik-adik saya yang masih duduk di SD. Saya cukup bersemangat untuk mengadakan acara seperti ini lagi, dan bersedia untuk jadi pembicaranya nanti.
Begitulah petikan wawancara dari seorang Amina, pelajar kelas 3 SMP, yang mampu mengingatkan kita tentang kekuatan tekad dan keimanan. Tiada hal yang didapat jika kita tidak memegang ikatan keyakinan dengan teguh. Dengan modal kekuatan itu, nyata ia mampu bertahan dan mampu membuktikan eksistensi kemuslimahannya dengan hijab yang dikenakannya.
Semoga dakwah Islam bisa terus membumi di negeri Formosa ini. [Iman Adipurnama, Taipei]